Kaltim

Berau Bangun Sinergi Lindungi Ekosistem Mangrove

POJOKNEGERI.COM – Kabupaten Berau menjadi salah satu daerah yang berhasil menjaga ekosistem mangrove di tengah meningkatnya tekanan terhadap kawasan pesisir Kalimantan Timur.

Keberhasilan itu tidak lepas dari strategi kolaboratif yang dari tingkat desa hingga kabupaten.

Demikian sebagaimana Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berau Pantai, Hamzah sampaikan dalam sebuah sesi diskusi mengenai pengelolaan wilayah pesisir dalam rangkaian kegiatan Media Visit dan Lingkar Temu Pengelolaan Mangrove Lestari oleh Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Kaltim.

Menurut Hamzah, langkah pertama yang paling mendasar adalah memahami kondisi wilayah secara utuh. Berau, katanya, merupakan salah satu kabupaten dengan lanskap paling lengkap.

“Di Berau ini semua ada: hutan alam, wilayah pesisir, pulau-pulau, dan ekosistem mangrove. Tidak banyak kabupaten yang punya kelengkapan seperti ini. Tapi itu berarti ancamannya juga lengkap,” ujarnya.

Pemetaan Ancaman dan Ketidaksesuaian Tata Ruang

Hamzah mengungkapkan bahwa banyak ketidaksesuaian antara kondisi ekologis di lapangan dengan rencana tata ruang. Ketidaksesuaian itu berpotensi memicu konflik pemanfaatan lahan dan kerusakan ekosistem.

“Banyak kasus, ekosistemnya mangrove, tapi di tata ruang masuk pertanian atau bahkan wilayah HPH dan HTI. Ini temuan yang kami lihat sendiri di lapangan,” katanya.

Untuk mengatasi persoalan itu, WKPH memulai pendekatan mitigasi dari level paling bawah, yakni desa. Desa-desa yang memiliki kawasan strategis mendapat fasilitas membuat pemetaan aset ekologis, kesepakatan ruang lindung, hingga penyusunan Rencana Tata Guna Lahan (RTGL) kampung.

“Kuncinya harus selesai di desa dulu. Di situ mereka tetapkan mana wilayah pemukiman, kebun, pertanian, dan mana mangrove yang harus diselamatkan,” jelas Hamzah.

Dalam proses itu, masyarakat di kampung mendapatkan pemahaman bahwa kawasan mangrove adalah aset ekonomi sekaligus lingkungan yang harus terlindungi. Kampung Dumaring menjadi salah satu contoh keberhasilan pendekatan berbasis komunitas tersebut.

Tiga Pendekatan: Perhutanan Sosial, Kemitraan Konservasi, dan Inisiatif Lokal

Menurut Hamzah, semua kawasan yang memiliki fungsi ekologis harus memiliki status pengelolaan yang jelas agar tidak menjadi wilayah terbuka (open access). Karena itu, Berau menerapkan tiga skema utama.

Pertama, Perhutanan Sosial (PS) untuk kawasan yang masuk wilayah hutan. Kedua, Kemitraan Konservasi bagi area konservasi pesisir dan kepulauan. Ketiga, inisiatif lokal berbasis kampung untuk kawasan APL (Area Penggunaan Lain).

“Kita bangun lembaga pengelolanya, di-eskatkan oleh kepala kampung, kemudian diusulkan ke bupati. Setelah itu baru kita buat desain pengelolaan bersama-sama,” tambahnya.

Kolaborasi Multi-pihak, Termasuk dengan Perusahaan Sawit

Salah satu bentuk mitigasi konflik pemanfaatan lahan adalah membangun kolaborasi dengan seluruh pihak, termasuk perusahaan sawit yang memiliki kewajiban kompensasi lingkungan.

“Ada sawit yang dulu dibuka tanpa analisis lingkungan memadai. Mereka tidak bisa jual ke RSPO kalau tidak menyiapkan kompensasi melalui konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat. Itu peluang yang kita ambil,” terangnya.

Melalui skema tersebut, kawasan mangrove yang berdampingan dengan kebun sawit tetap mendapatkan dukungan pendanaan restorasi dan pemberdayaan masyarakat. Program tersebut bahkan menjadi model pertama di Indonesia.

Meski begitu, Hamzah menegaskan bahwa kerja sama dengan perusahaan tidak berarti masyarakat melepas kendali terhadap zona lindung.

“Kerja sama itu harus memenuhi kepentingan kedua pihak. Tapi bukan berarti perusahaan bisa mengekspansi lagi. Batas ruangnya sudah ditetapkan desa dan kabupaten, dan diperkuat dengan Perda Mangrove,” tegasnya.

Kelembagaan dan Roadmap Jangka Panjang

Menurut Hamzah, salah satu tantangan terbesar adalah kapasitas lembaga pengelola di kampung. Karena itu, penguatan organisasi menjadi fokus besar WKPH.

“Kalau kapasitas kelembagaan tidak dibangun, mereka tidak bisa mengelola keuangan, program, atau teknis lapangan. Itu sebabnya kami dampingi bersama NGO, akademisi, dan KPH,” ujarnya.

Selain itu, setiap kawasan memiliki roadmap yang jelas, termasuk target rehabilitasi 5 tahun, pengembangan ekonomi, serta indikator pencapaian.

“Semua harus terukur. Banyak yang bilang kolaborasi, tapi tanpa matriks dan anggaran itu cuma diskusi. Kita tidak mau yang seperti itu,” katanya.

Hamzah menegaskan bahwa mitigasi konflik pemanfaatan lahan tidak hanya soal regulasi, tetapi juga soal menyamakan persepsi bahwa mangrove adalah aset penting untuk masa depan ekonomi dan lingkungan.

“Kalau ini rusak, resikonya besar. Kalau terkelola, manfaatnya juga besar. Tugas kami meyakinkan pemerintah, masyarakat, dan perusahaan bahwa ini ruang yang harus kita jaga bersama,” tutupnya.

(*)

Back to top button