POJOKNEGERI.COM - Herdiansyah Hamzah, Akademisi dari Universitas Mulawarman menegaskan kehadirannya di persidangan sengketa Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) 2024 yang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banjarmasin.
Hal ini disampaikan Herdiansyah Hamzah membantah isu yang menyebutkan bahwa dirinya tidak dilibatkan sebagai saksi ahli dalam sidang gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kutai Kartanegara (Kukar)
Herdiansyah mengatakan, dalam sidang tersebut dirinya memberikan penjelasan mendalam mengenai makna dan implikasi pelantikan dalam konteks peralihan kekuasaan kepala daerah.
Ia menekankan bahwa masa jabatan kepala daerah dimulai sejak pelantikan, sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Kedua undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa jabatan bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota berlangsung selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Herdiansyah menjelaskan lebih lanjut, bahwa proses pelantikan bukan sekadar formalitas, melainkan merupakan syarat yang sangat penting sebelum seorang kepala daerah dapat menjalankan tugasnya.
"Proses ini menandakan peralihan kekuasaan dari pejabat lama kepada pejabat baru dan memberikan legitimasi kepada pejabat baru untuk melaksanakan tugasnya,” ujar Dosen Hukum Tata Negara tersebut.
Mengurai Makna Pelantikan
Herdiansyah menggarisbawahi, pelantikan memiliki dua aspek penting.
Pertama, ia menandai peralihan kekuasaan, dan kedua, merupakan awal dari pelaksanaan kekuasaan pejabat yang baru.
Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, hanya kepala daerah definitif dan penjabat yang dilantik secara resmi.
Prosedur pelantikan ini diatur dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Penting untuk membedakan antara pelantikan dan pengukuhan.
Menurut Herdiansyah, pelantikan berkaitan dengan peralihan kekuasaan, sedangkan pengukuhan bersifat fungsional dan hanya berlaku untuk pejabat sementara.
“Oleh karena itu, perhitungan masa jabatan kepala daerah seharusnya dimulai saat pelantikan, bukan saat pengukuhan,” tegasnya.
Kedudukan PKPU dalam Sistem Hukum
Dalam konteks hukum, Herdiansyah juga membahas posisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Meskipun PKPU tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, ia menegaskan bahwa PKPU memiliki kekuatan hukum yang diakui.
PKPU dihasilkan berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum dan sebagai respons terhadap peraturan yang lebih tinggi, termasuk ketentuan dalam UU Pilkada.
KPU memiliki kewajiban untuk menyesuaikan PKPU dengan putusan pengadilan, terutama yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Herdiansyah menjelaskan, hal ini penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Oleh sebab itu, Herdiansyah menyimpulkan bahwa pelantikan sebagai awal masa jabatan merupakan hal yang krusial dalam sistem pemerintahan.
Ia menegaskan, bahwa hanya pejabat definitif yang melalui proses pelantikan yang dapat dihitung masa jabatannya, sedangkan pejabat yang hanya dikukuhkan tidak termasuk dalam periodesasi jabatan.
“PKPU, meskipun bukan peraturan utama, berfungsi sebagai instrumen yang memastikan pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” pungkasnya.
Pernyataan ini diharapkan dapat mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pelantikan dalam proses peralihan kekuasaan dan memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai regulasi yang ada.
(*)