POJOKNEGERI.COM - Graham Fuller menyebutkan bahwa “agama akan selalu digunakan dimanapun, ia (agama) bisa untuk menggembleng masyarakat dan membenarkan kampanye, pertempuran dan perang besar. Akan tetapi, penyebab kampanye, pertempuran, perang bukan tentang agama.”
Pendapat Fuller masih relevan dengan kondisi sekarang, jika dikaitkan dengan kasus dugaan penyalahgunaan dana donasi masyarakat yang dilakukan oleh ACT, dan seteru Pesulap Merah Vs Gus Samsudin.
Gerakan agama yang sepatutnya menjadi proses penyadaran manusia agar bisa menjadi manusia sebenarnya, malah mempolitisir teks-teks suci dalam kitab suci, sebagai alat, sarana, atau cara untuk mencapai tujuan yang notabene dalam kasus ACT maupun Pesulap Merah dan Gus Samsudin begitu pragmatis.
Bahkan kita masih menemukan, teks-teksi dalam kitab suci difungsikan sebagai alat politik.
Mungkin inilah yang dikatakan sebagai membangkitkan sentimen agama yang dikorelasi dengan proses-proses industrialisasi, eksodus, urbanisasi yang sebenarnya berakibat meruntuhkan tradisi-tradisi yang selama ini diayomi oleh para orang-orang tua (leluhur) kita.
Dimana agama justru digunakan untuk meng-humanisasikan manusia dari dehumanisasi yang mereka alami.
Yang saya khawatirkan justru, ketika isu kebangkitan agama ini dimaksudkan untuk menutupi ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat oleh oknum-oknum penguasa. Ibarat kata, mengutip Manlio Graziano, bahwa bentuk-bentuk “relijiusitas akar rumput” bisa menjadi pelindung atas risiko kerusuhan sosial politik.
Ibarat kata, kecenderungan agama menduduki panggung (ruang) publik, akibat negara kurang berhasil mengayomi warga negaranya dari segi kehidupan dan layanan sosial.
Di sisi yang lain, fenomena ini tidak serta-merta berdiri sendiri, dan murni kegelisahan warga di ruang publik semata. Beberapa kebijakan bermotif agama sebagai tujuan politik juga ikut melebarkan “penyalahgunaan” tersebut, yang justru semakin mengaburkan toleransi, nilai tradisi-budaya yang selama ini kita anut dan implementasikan jauh-jauh hari sebelum fenomena ini menjadi tren “pembodohan.”
Saya hanya mereview….!
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
(redaksi)