
POJOKNEGERI.COM – Guna mencegah peningkatan kasus HIV/AIDS, DPRD Kaltim mempercepat penyempurnaan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
Regulasi baru ini ditargetkan rampung pada 2026 untuk menggantikan Perda tahun 2007 yang dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan epidemi maupun standar penanganan kesehatan terkini.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, mengatakan bahwa penyusunan Raperda ini merupakan inisiatif anggota DPRD langsung masuk dalam tujuh prioritas legislasi daerah tahun 2026.
“Kasus HIV meningkat, dan yang memprihatinkan adalah banyak penyintas masih menghadapi pengucilan,” ujar Baharuddin, Kamis (11/12/2025).
Ia menegaskan bahwa Raperda baru tidak hanya mengatur aspek medis. Tetapi juga menekankan pentingnya penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap penyintas HIV/AIDS. Menurutnya, ketakutan terhadap reaksi lingkungan membuat banyak pasien memilih menyembunyikan status kesehatannya.
“Penularannya tidak seperti anggapan masyarakat. Sosialisasi harus dirumuskan kuat agar tidak ada lagi pengucilan,” tegasnya.
Langkah ini diharapkan mampu menekan potensi polemik saat pembahasan di tingkat pansus atau komisi, karena sebagian besar persoalan mendasar telah dirampungkan sejak tahap awal.
“Kami ingin semua masukan dari LSM, pendamping pasien, sampai dinas terkait sudah termuat sejak awal. Jangan sampai naskah akademik dan Raperda tidak nyambung,” tegasnya.
Raperda penanggulangan HIV/AIDS dan IMS ini tidak hanya menyoroti aspek medis, tetapi juga memberikan perhatian besar pada isu penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap para penyintas.
Ingatkan Masyarakat Kalukan Deteksi Dini
DPRD Kaltim juga mendorong masyarakat, khususnya kelompok berisiko, untuk melakukan pemeriksaan dini secara rutin.
“Jangan menunggu sampai sakit baru memeriksakan diri. Deteksi awal penting untuk mencegah penularan,” tandasnya.
Sebelumnya, Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat sekitar 1.000 kasus HIV baru setiap tahunnya.
Oleh karenanya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terus memperkuat langkah pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, terutama melalui peningkatan deteksi dini dan perluasan edukasi kepada masyarakat.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kaltim, dr. Ivan Hariyadi mengatakan bahwa tingginya arus keluar-masuk pekerja di Kaltim menyebabkan potensi penularan HIV selalu ada. Oleh karena itu, deteksi dini dan keterlibatan banyak pihak menjadi kunci utama dalam mencegah peningkatan jumlah kasus.
“Kalau kita lihat dari tren, kasus baru hampir flat setiap tahun. Tapi karena Kaltim menjadi magnet banyak penduduk yang datang untuk bekerja, upaya pencegahan dan deteksi dini harus terus kita tingkatkan,” ujarnya.
Menurut Ivan, penanggulangan HIV tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab sepenuhnya pada sektor kesehatan. Peran lintas sektor sangat penting agar intervensi pencegahan benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Ia mencontohkan, edukasi mengenai HIV/AIDS harus meluas ke lingkungan sekolah dan lembaga pendidikan berbasis agama melalui keterlibatan Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama.
Sementara itu, dunia kerja perlu mendapatkan informasi yang memadai melalui dukungan Dinas Tenaga Kerja, yang memiliki jangkauan langsung kepada perusahaan dan industri.
Tak hanya itu, Satpol PP juga berperan dalam mengawasi lokasi-lokasi yang berpotensi menjadi titik rawan penularan HIV. Terutama yang berkaitan dengan aktivitas berisiko.
“Kami tidak mungkin bekerja sendirian. Kalau hanya sektor kesehatan, upaya pencegahan akan sulit maksimal,” ujar Ivan menegaskan.
Dukungan Dunia Usaha
Salah satu langkah penting yang Dinas Kesehatan Kaltim upayakan adalah mendorong perusahaan untuk aktif dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). CSR dapat memperkuat edukasi, meningkatkan jumlah pekerja yang mendapatkan pemeriksaan HIV, serta membuka akses layanan kesehatan bagi karyawan yang membutuhkan.
Ivan menyebut, sejumlah perusahaan di Kutai Timur (Kutim) dan Kutai Kartanegara (Kukar) telah menjalankan CSR untuk penyuluhan dan pemeriksaan HIV. Bahkan, beberapa perusahaan bekerja sama dengan puskesmas untuk menyediakan layanan tes skrining gratis bagi karyawan.
“Beberapa perusahaan di Kutim dan Kukar sudah menyalurkan dana CSR untuk mendukung edukasi dan pemeriksaan HIV bagi karyawan. Termasuk menyediakan layanan skrining gratis melalui puskesmas,” jelasnya.
Ivan menekankan bahwa dukungan dunia usaha tidak hanya berhenti di penyuluhan dan skrining. Perusahaan juga memiliki tanggung jawab menjaga hak pekerja yang hidup dengan HIV.
Ivan menegaskan bahwa perusahaan tidak boleh menanyakan status HIV calon karyawan dalam proses rekrutmen. Tes HIV hanya boleh dil akukan sebagai bagian dari program layanan kesehatan di tempat kerja, dan hasilnya tidak boleh untuk memecat atau menolak pekerja.
“Pekerja yang positif HIV tetap memiliki hak yang sama. Mereka bisa tetap produktif karena obat tersedia dan mudah diakses,” tegasnya.
(*)
