Ahmad Muzani: Soeharto Layak Diberi Gelar Pahlawan

POJOKNEGERI.COM – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Ahmad Muzani, angkat bicara terkait polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Menurutnya, tidak ada lagi hambatan hukum untuk memberikan penghargaan tersebut karena Soeharto telah menyelesaikan seluruh proses hukum yang pernah dihadapinya.
“MPR melihatnya bahwa dalam periode yang lalu, MPR telah menulis surat menyatakan bahwa mempersilahkan kepada Presiden dalam hal ini pemerintah untuk memberi penghargaan kepada mantan presiden Soeharto. Karena yang bersangkutan telah selesai menjalani proses hukum baik pidana maupun perdata,” kata Muzani Jumat (7/11/2025).
Muzani menambahkan, pimpinan MPR periode 2019–2024 menilai Soeharto memiliki kontribusi besar bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menolak pemberian gelar kehormatan tersebut.
“Yang bersangkutan dianggap telah memberi kontribusi dan jasa kepada bangsa yang begitu besar. Sehingga tidak ada halangan bagi pemerintah untuk memberi penghargaan kepada mantan presiden Soeharto,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra ini menegaskan tak ada hal lain yang menghalangi Soeharto untuk mendapatkan gelar Pahlawan.
Dinilai Telah Menjalani Proses Hukum
Terlebih, Soeharto dianggap telah menjalani proses hukum.
“Jadi, baik pidana ataupun perdata, Pak Harto dianggap telah menjalani proses itu, dan dinyatakan layak untuk mendapat gelar atas jasa-jasanya. Untuk rekonsiliasi, untuk kebersamaan, untuk persatuan bangsa dan negara,” ujarnya.
Muzani lantas menyinggung TAP MPR terkait Soekarno yang tak berlaku lagi.
Sebab, Soekarno telah di beri gelar pahlawan nasional pada era kepemimpinan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Maka, hal yang sama pun dilakukan MPR terhadap TAP MPR tentang Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid dan TAP MPR yang menyebut nama Soeharto telah dicabut.
“Semua itu dilakukan terhadap tiga mantan Presiden, Bung Karno, Pak Harto dan Abdurrahman Wahid, dilakukan oleh MPR sebagai bagian dan cara MPR untuk tetap menjaga persatuan dan rekonsiliasi dalam berbangsa dan bernegara,” jelasnya.
Sebab itu, menurutnya, sudah tak ada lagi halangan atau rintangan jika Presiden Prabowo Subianto akan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto dan Gus Dur. Dia menilai pemberian gelar itu sebagai bentuk rekonsiliasi.
“MPR menganggapnya tidak ada handicap lagi secara konstitusi. Tentu saja apa alasannya, pemerintah biar yang menjelaskan. Mungkin karena jasanya, mungkin karena apa dan seterusnya,” tuturnya.
“Tapi itu bagian dari upaya kita untuk tetap menghargai rekonsiliasi, persatuan, kerukunan, kebersamaan di antara para pemimpin-pemimpin kita yang sekarang sudah mendahului kita, mereka adalah orang yang memberi jasa besar kepada bangsa dan negara,” imbuh dia.
PBNU dan Muhammadiyah Dukung Pemberian Gelar Pahlawan ke Soeharto
Dukungan terhadap pengangkatan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali mengemuka.
Kali ini, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menyatakan sikap positif terhadap usulan tersebut.
Mereka menilai Soeharto memiliki jasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa yang layak diapresiasi dalam bentuk gelar kepahlawanan.
Pernyataan Resmi dari PP Muhammadiyah
Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menyampaikan bahwa Soeharto adalah tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang kontribusinya tidak bisa diabaikan.
“Kami mendukung Bapak Soeharto sebagai pahlawan nasional karena beliau sangat berjasa kepada Republik Indonesia, sejak masa revolusi kemerdekaan hingga masa pembangunan,” kata Dadand di Jakarta, Rabu (5/11) dikutip dari CNNIndonesia.
Menurut dia, Soeharto turut berjuang dalam perang gerilya dan memainkan peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang menjadi momentum strategis bagi pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia.
Selama menjabat sebagai presiden, lanjutnya, Soeharto juga dinilai berhasil melaksanakan berbagai program pembangunan terencana. Hal ini terlihat melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dadang menambahkan keberhasilan kepemimpinan Soeharto antara lain tercermin dari swasembada beras pada dekade 1980-an. Kemudian program Keluarga Berencana (KB) yang berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk. Dan juga stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan yang terjaga selama masa pemerintahannya.
“Ketika kita menghargai jasa kepahlawanan seseorang, jangan dilihat dari perbedaan politik atau kepentingan apapun, kecuali kepentingan bangsa dan negara, terlepas dari kekurangan dan kesalahan seseorang,” ujarnya.
PBNU Dukung Soeharto dan Gus Dur jadi pahlawan nasional
Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) turut menyatakan dukungannya terhadap usulan Kementerian Sosial kepada Dewan Gelar untuk menetapkan Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Pahlawan Nasional.
Menurut Gus Fahrur, bangsa Indonesia perlu belajar dari masa lalu baik dari kebaikan maupun kekurangannya untuk membangun masa depan.
“Dalam tradisi keilmuan Islam, ada kaidah penting: Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik,” ujar Gus Fahrur di Jakarta, Rabu (5/11).
Gus Fahrur menilai Soeharto maupun Gus Dur memiliki kontribusi besar terhadap bangsa dalam dua fase sejarah yang berbeda.
“Pak Harto berjasa besar dalam stabilisasi nasional dan pembangunan ekonomi. Di masa beliau, Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu macan ekonomi baru Asia. Dengan program pembangunan yang terencana dan stabilitas ekonomi serta keamanan yang tinggi,” kata dia.
Selain itu, kata Gus Fahrur, Soeharto juga memiliki jasa besar di bidang sosial-keagamaan. Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menurutnya berjasa besar dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan rekonsiliasi bangsa pasca reformasi.
“Keduanya punya jasa luar biasa dalam membangun bangsa di masa-masa sulit. Menetapkan mereka sebagai Pahlawan Nasional bukan berarti meniadakan kritik atas kekurangan yang pernah ada. Tetapi bentuk penghargaan atas jasa besar yang telah mereka berikan,” kata Gus Fahrur.
(*)
