POJOKNEGERI.COM - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid meminta calon presiden Prabowo Subianto memilih calon wakil presiden tak semata untuk mendongkrak elektabilitas, di mana kelembagaan wakil presiden bukan sebagai 'ban serep'.
Menurut Fahri, wapres memiliki peran aktual dalam menata dan mengelola negara secara benar sesuai sumpah jabatan, yakni memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan baik dan adil, memegang teguh UUD 1945, menjalankan segala undang-undang dan peraturannya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.
Bagi Fahri, sosok Yusril Ihza Mahendra memenuhi kriteria itu.
Yusril dinilai sebagai teknokrat yang dapat memainkan peran konstitusional sebagai wakil presiden dengan baik.
Dirinya yakin, Yusril akan fokus mengurus dan menata negara, membangun sistem yang kuat, menata birokrasi serta membenahi mekanisme dan sistem ketatanegaraan yang ada.
Terlebih, produk amandemen UUD 1945 masih memiliki sejumlah persoalan yang membutuhkan kajian, pendalaman serta perbaikan melalui upaya konstitusional dengan cara amandemen kelima UUD 1945.
Hal krusial tersebut, membutuhkan peran seorang wapres yang mumpuni, yakni sosok cendekiawan andal yang menguasai teknis hukum tata negara seperti pada figur Yusril.
Fahri menambahkan, kriteria yang harus dipakai sebagai patokan penentuan cawapres adalah kebutuhan negara saat ini, yakni figur yang dapat memainkan peran-peran konstruktif dalam menata negara, agar konsolidasi demokrasi tetap berada pada rel yang benar.
"Bukan kebutuhan elektoral atau elektoralisme semata yang hanya berorientasi pada kepentingan menang-kalah dalam pemilu," ucap Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid, dikutip dari CNN.
Menurut Fahri, tugas konstitusional negara akan semakin kompleks, lebih berat dan menantang.
Dia menilai, prinsip meritokrasi menjadi keniscayaan dalam memilih sosok cawapres yang teknokratis, intelektual, serta menguasai aspek ketatanegaraan dan kepemerintahan.
Secara konvensional, praktik pengisian jabatan wapres menggunakan konsep meritokrasi pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, yakni melalui kehadiran dwitunggal Soekarno-Hatta, di mana Soekarno berperan sebagai 'solidarity maker' di awal kemerdekaan dan Hatta sebagai administrator negara.
Sementara secara konstitusional, UUD 1945 melalui Pasal 6A ayat 1 menyatakan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan pasangan presiden dan wakil presiden.
Artinya, di satu sisi presiden dan wakilnya merupakan satu kesatuan kelembagaan.
Di sisi lain, keduanya adalah dua organ konstitusional yang berbeda, sehingga harus dibedakan satu sama lain.
Fahri menegaskan, tugas wapres membantu presiden berbeda dengan fungsi para menteri yang menurut UUD 1945 adalah pembantu presiden.
Berdasarkan kaidah konstitusional, wakil presiden bertindak mewakili presiden apabila presiden berhalangan melaksanakan kewajiban hukum dalam bentuk kegiatan tertentu atau dalam lingkungan kewajiban konstitusional presiden.
Selain itu, wapres juga mewakili presiden apabila presiden tak bisa memenuhi kewajiban konstitusional karena alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum.
Wapres pun bertindak sebagai pendamping presiden saat melakukan kewajibannya, juga dapat bertindak sebagai pejabat publik.
Secara ketatanegaraan, eksistensi hukum wakil presiden terhadap presiden dapat memiliki sejumlah kemungkinan, antara lain sebagai wakil presiden selaku kepala pemerintahan, sebagai pengganti presiden, sebagai pembantu presiden, sebagai pendamping presiden, maupun sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri.
Fahri mengingatkan, eksistensi presiden dan wakil presiden sebagai lembaga negara dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia mempunyai kedudukan serta peran yang sangat vital dan strategis. (redaksi)