POJOKNEGERI.COM - Kalangan bisnis Amerika Serikat telah lama terpikat pada kutipan dari Jack Welch, mantan CEO General Electric, tentang masa depan pasar China.
Dorongan dari Jack Welch tentang peluang tak terbatas ini tak ayal lagi memikat perusahaan-perusahaan AS lainnya ke China.
Salah satunya Jeff Bezos, pendiri perusahaan raksasa teknologi Amazon.
Perusahaan itu masuk ke China sejak tahun 2004 melalui akuisisi penjual buku online lokal Joyo seharga $110 juta, mengubah namanya menjadi Amazon China sebagai platform e-commerce pada tahun 2011.
Namun pada 2019, ketika China membuat rekor penjualan online senilai $2,3 triliun dengan lebih dari 900 juta pembeli domestik, Amazon justru mengumumkan akan menutup bisnis domestiknya, dan lebih fokus pada penjualan lintas negara untuk pelanggan China.
Surat kabar The New York Times melaporkan, meskipun minat belanja online kuat di dalam negeri, namun China hanya menyumbang kurang dari 6 persen dari penjualan global Amazon tahun itu.
Bukan hanya pasar perdagangan online Amazon gagal mencapai tujuannya di China, tapi juga pasar e-book (buku digital) yang bernilai miliaran dolar.
Salah satu produk Amazon, Kindle, diluncurkan di China pada tahun 2013, dengan perangkat rak buku virtualnya yang berisi jutaan e-book.
Produk ini langsung menarik konsumen China yang masih mengandalkan buku-buku bersampul tipis pada saat itu.
Kindle juga mendorong ledakan di pasar e-book China.
Pemerintah melaporkan bahwa Amazon menduduki 65 persen pangsa pasar pada tahun 2019.
Pada tahun 2021, data pemerintah China menunjukkan sektor e-reading telah memperoleh pendapatan $9 miliar, meningkat 20 persen dari tahun sebelumnya.
Lebih dari 506 juta pengguna China dilaporkan mengakses eBook tahun lalu, dengan rata-rata setiap orang membaca 11,58 judul buku digital.
Oleh karena itu, ketika bulan lalu Amazon mengumumkan akan menutup toko e-booknya di China mulai tahun depan, banyak yang kaget.
Amazon ternyata bukan satu-satunya raksasa teknologi AS yang akan hengkang dari China.
Pada bulan Mei, salah satu pendiri Airbnb, Nathan Biecharczyk, mengatakan dalam postingannya di media sosial WeChat bahwa perusahaan itu akan menutup bisnis domestiknya pada 30 Juli.
Mereka akan fokus pada perjalanan keluar dari China sebagai gantinya.
Implikasi keputusan ini menyebabkan AirBnB akan menghapus 150.000 tempat tinggal terdaftar di China.
Pada tahun 2020, Biecharczyk menyatakan China akan menjadi yang terbesar di Airbnb.
Keputusan Kindle dan Airbnb ini menyusul keputusan perusahaan teknologi AS sebelumnya, termasuk Yahoo dan LinkedIn Microsoft, yang telah menghentikan layanan mereka dari China.
Google bahkan telah keluar dari negara itu pada tahun 2010.
Perusahaan raksasa AS di luar bidang teknologi kabarnya sedang memikirkan kembali produk digital mereka di China saat ini.
Pada bulan Juni, misalnya, merek pakaian Nike mengumumkan konsumen China akan kehilangan akses ke aplikasi Runner Club-nya, yang memungkinkan pengguna untuk melacak aktivitas olahraga mereka dan berbagi data dengan teman-teman mereka.
Perusahaan itu mengatakan kepada stasiun TV CNN bahwa mereka masih akan berinvestasi dalam mengembangkan platform digital di China, dan akan meluncurkan platform "lokal" untuk para olahragawan China di masa depan.
Karena semakin banyak merek teknologi Barat meninggalkan China, sejumlah pengamat menyebut adanya dua undang-undang keamanan data negara itu sebagai faktor penyebab.
Keduanya mulai berlaku pada tahun 2021, yaitu UU Keamanan Data Negara dan UU Perlindungan Informasi Pribadi yang membatasi perusahaan dan individu untuk mentransfer data yang dihasilkan di China ke luar negeri.
Undang-undang tersebut juga mewajibkan perusahaan asing untuk melokalkan penyimpanan data mereka dan mematuhi pemeriksaan dari regulator pemerintah.
Artinya, Pemerintah China akan dapat mengakses data pengguna melalui perusahaan media sosial milik China seperti TikTok.
Pekan ini, TikTok mengakui data pengguna Australia dapat diakses di China, tapi menyatakan: "Kami tidak pernah memberikan data pengguna Australia kepada pemerintah China dan tidak akan memberikannya jika kami diminta."
Kendra Schaefer, konsultan dari Trivium China yang berbasis di Beijing, mengatakan upaya pengetatan peraturan telah memaksa beberapa perusahaan teknologi untuk melepaskan fitur yang dulunya menjadi sumber keuntungan mereka.
Laporan Dewan Bisnis AS-China pada bulan April menunjukkan 81 persen perusahaan AS yang disurvei khawatir tentang kebijakan keamanan data China.
Kendra Schaefer menyebutkan selain UU keamanan data, banyak perusahaan teknologi Barat mengalami pengetatan peraturan China selama beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2021, laporan Reuters menunjukkan upaya Amazon menyelesaikan masalah ini dengan meluncurkan proyek Buku China, yang mensyaratkan kemitraan dengan organ propaganda Partai Komunis China dalam mempromosikan buku-buku Presiden Xi Jinping.
Amazon diketahui telah menghapus komentar dan ulasan untuk buku-buku Presiden Xi setelah ada permintaan dari Pemerintah China.
Meskipun perusahaan Barat menyebutkan peraturan ketat sebagai penghalang dalam pasar China, namun sejumlah konsumen lokal menceritakan kisah yang berbeda.
Xiaofeng Luo, seorang kutu buku berusia 25 tahun dari Provinsi Zhejiang, mengaku telah membaca "sekitar 100 buku" melalui Kindle saat dia berusia 17 tahun.
Namun dalam dua tahun terakhir, dia tidak lagi menggunakan produk Amazon itu sama sekali.
"Saya tidak dapat menemukan buku yang saya ingin baca di Kindle. Saya akan mendapatkan novelnya di Amazon, tapi anehnya tidak ada versinya di Kindle" Warga China, Xiaofeng Luo dilansir dari detik.com.
Teman-teman Luo merekomendasikan untuk mencoba WeRead, platform e-reading yang dibuat oleh Tencent sebagai produk sampingan dari aplikasi sosial WeChat.
Luo juga menikmati fitur sosial WeRead, yang memungkinkan pengguna untuk berbagi daftar bacaan mereka atau mendiskusikan konten dengan pengguna lain di platform.
Pengalaman Luo ini senada dengan pengamatan Mark Tanner dari perusahaan konsultan pemasaran China Skinny di Shanghai.
Airbnb juga menghadapi tantangan dari para pesaing lokal seperti Tujia, yang memiliki 2 juta akomodasi terdaftar pada tahun 2020. Jumlah ini sama dengan 13 kali lebih banyak dari Airbnb.
Schaefer mengatakan kurangnya penjualan di pasar China adalah salah satu pendorong utama di balik kegagalan merek teknologi Barat di China selain faktor regulasi.
Menurut Tanner meskipun sejumlah merek Barat sekarang telah memahami pasar China dengan baik, namun banyak yang masih kesulitan untuk mencapai keberhasilan di China.
Perusahaan China sangat cepat dalam membuat keputusan, sangat dinamis, dan mereka siap untuk membuang banyak hal yang sulit.
Dia mengatakan banyak perusahaan Silicon Valley memiliki pola pikir yang sama, tapi karena pengambil keputusan tidak berbasis di China, mereka butuh waktu lebih lama untuk merespon pasar lokal.
Dia menambahkan, sektor lain seperti produk kesehatan dan kecantikan, sangat sedikit merek asing yang berhasil memenangkan pasar China.
Schaefer mengatakan perusahaan teknologi yang memasuki pasar China harus siap dengan ekosistem teknologi yang berbeda.
(*)