POJOKNEGERI.COM - Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akhirnya diputuskan akan direvisi oleh pemerintah.
Nantinya, revisi UU ITE ini nantinya akan dilakukan secara terbatas terhadap substansi.
Sebelum akhirnya diputuskan untuk direvisi, ada beberapa suara di kalangan masyarakat, agar beberapa pasal dalam UU ITE direvisi, bahkan dihapus.
Hal ini karena dianggap, adanya penafsiran dalam masyarakat bahwa UU ITE kerap digunakan sebagai pasal karet yang dapat menkriminalisasi seseorang dengan menggunakan UU ITE itu.
Untuk menghindari adanya hal itu, Tim Kajian UU ITE telah lakukan beberapa diskusi dan kajian yang dianggap dapat menghindari adanya implementasi yang salah dalam penegakkan hukum UU IYT.
Hal itu dijelaskan oleh Ketua Tim Kajian UU ITE, Sugeng Purnomo. Hal itu ia sampaikan dalam wawancara bersama CNN Indonesia, awal Mei 2021 lalu.
"Tahapan yang dilakukan oleh Tim Kajian, itu dimulai sejak kami dapatkan pengarahan dari Menkopolhukam maupun Menkominfo. Kami lakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan mengundang beberapa pihak. Jumlahnya sekitar 55 orang seluruhnya, dan itu tidak satupun narasumber kita menginginkan perlu dicabut (UU ITE)," ujar Sugeng yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda itu.
Ia sampaikan pula bahwa UU ITE masih diperlukan dengan tujuan menjaga agar ruang digital tetap bersih, produktif serta bermartabat. Meski demikian, dari diskusi antara Tim Kajian dengan pihak-pihak terkait, ia sampaikan perlu dibuat adanya pedoman yang mengatur implementasi UU ITE itu.
"Sehingga tak terjadi penafsiran yang berbeda-beda atau yang sering kita dengar itu salah tafsir. Tim juga berpendapat UU ITE perlu dilakukan revisi nantinya. Kita rekomendasikan itu kepada pak Menko," ujarnya.
Detail 55 orang yang masuk dalam diskusi bersama Tim Kajian juga ia sebutkan.
"Ada dari kelompok pelapor dan terlapor yang berhubungan dengan UU ITE itu ada 16 orang. Kemudian aktivis, masyarakat dan praktisi ada 13 orang. Dari pers ada 4 orang termasuk didalamnya ada LBH Pers, akademisi ada 8 orang, ada yang dari luar Jakarta juga, termasuk Solo, Yogya dan Bandung," ujarnya.
Selanjutnya, ia lanjutkan untuk kalangan dari DPR atau partai politik ada 3 orang serta Kementerian/ Lembaga ada 11 orang.
"Nah dari hasil diskusi dengan para narasumber itu, prinsipnya UU (ITE) ini tetap diperlukan agar ruang digital kita tetap baik," kata Sugeng Purnomo yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Jaksa Agung itu.
Mengenai pasal-pasal yang dianggap sensitif, seperti pasal penistaan agama, pencemaran nama baik, Sugeng Purnomo sampaikan ada hal-hal yang ia cermati.
"Pertama dari sisi implementasinya. Nah di dalam implementasi ini kita temukan ada penafsiran yang tidak sama, antara satu aparat penegak hukum dengan penegak hukum yang lain. Dan kita merasakan ada implementasi yang tidak tepat. Maka tim berpendapat harus disusun pedoman untuk implementasi sehingga tidak terjadi multi tafsir, implementasi yang tidak tepat dan yang lain. Pedoman ini disusun untuk jadi bagian dari penegakan hukum UU ITE," katanya.
Pedoman UU ITE ini, ia sebut sangat diperlukan, sehingga ke depan penegakan hukum, ada pedoman yang sama.
"Ini adalah pedoman pada saat implementasi pada pasal-pasal yang dipersoalkan. Sehingga ada keseragaman dalam penegakan hukum yang terkait pasal-pasal di UU ITE," jelasnya.
(redaksi)