POJOKNEGERI.COM, SAMARINDA - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan pesta demokrasi yang penting namun sering kali isu-isu lingkungan, khususnya perubahan iklim, tidak menjadi agenda utama dalam debat politik atau program calon kepala daerah.
Seperti Pilkada Serentak 2024 ini dianggap oleh sejumlah aktivis dan akademisi dari XR Bunga Terung sebagai ajang yang tidak memberikan perhatian serius terhadap isu krisis iklim.
XR Bunga Terung yang menilai kalau pesta demokrasi lima tahunan, tidak pernah menghadirkan solusi krisis iklim.
Kritik itu juga bertujuan ganda, satu lainnya untuk menanggapi pidato pemimpin negara di G20 yang mengikuti Konperensi Tingkat Tinggi di Rio de Jeneiro, Brasil. Saat itu, Presiden Prabowo mengemukakan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh perubahan iklim yang berdampak pada Jakarta.
Digambarkan sebagai Kota Rimba, sponge city dan sebutan bernuansa hijau lainnya, Ibu Kota Nusantara dibayangkan akan menjadi contoh ideal dari kota yang berkelanjutan dan ramah iklim.
Faktanya, Kalimantan Timur sendiri walau kerap disebut sebagai Heart of Borneo bukanlah wilayah yang tuna masalah dan dampak dari perubahan iklim.
Pernah mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Hijau, sampai dengan saat ini pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur masih ditopang oleh industri ekstraktif, baik yang mengektraksi mineral dan batubara maupun mengekstraksi hutan.
XR Bunga Terung menilai walau Kaltim menjadi pionir penerima dana karbon, namun skema perdagangkan karbon tidak secara nyata menjawab akar masalah krisis iklim. Pemanfaatan dana karbon tidak secara langsung menghambat rakusnya ekstraksi dan konsumsi bahan bakar fosil.
"Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini juga tak memberi harapan munculnya kepala daerah yang mempunyai komitmen tinggi untuk melahirkan solusi krisis iklim dari daerah," jelas Winda dari XR Bunga Terung.
Dikatakan Winda, para calon kepala daerah lebih memilih mengobral janji populis untuk mendulang suara dari pemilih. Persoalan lingkungan dan krisis iklim menjadi isu pinggiran tanpa gagasan yang jelas. Soal lingkungan dan krisis iklim pada calon kepala daerah lebih mengandalkan kebijakan pemerintah nasional serta sumber daya finansial bantuan luar negeri.
Dalam amatan XR Bunga Terung para calon kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota di Kalimantan Timur masih terjebak dalam isu-isu populis seperti infrastruktur, bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, lapangan kerja dan lainnya.
Padahal dampak perubahan iklim untuk Kalimantan Timur sudah nyata seperti kejadian banjir, kekeringan panjang dan kenaikan suhu panas yang menyebabkan masyarakat menjadi lebih boros energi untuk mendinginkan badan.
Oleh karena itu, XR Bunga Terung menyatakan sikap dan seruan untuk mengajak publik untuk menyerukan tentang krisis lingkungan dan dampak krisis iklim di Kalimantan Timur.
"Agar siapapun yang terpilih baik sebagai gubernur, bupati maupun walikota tidak larut dalam paradigma pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada industri ekstraksi. Industri yang dalam prakteknya kerap bersandar pada dukungan kekuasaan dan perlindungan aparat penegak hukum padahal kerap menyengsarakan rakyat," kata Winda.
XR Bunga Terung, dikatakan Winda, akan terus berteriak lantang untuk menantang para calon yang terpilih agar berani mengambil langkah nyata dalam mencari solusi atas krisis iklim yang berbasis daerah ketimbang membebek kebijakan nasional yang lebih berfokus pada diplomasi dan perjanjian global
"Kami juga tak akan lelah untuk terus mendesak kepala daerah terpilih untuk menghentikan ekspansi dan investasi yang rakus lahan, untuk melindungi hutan, lahan gambut, wilayah tangkapan air dan badan-badan air alami yang berfungsi menjaga iklim," katanya.
Mengingat ancaman krisis iklim sudah semakin nyata dan dampaknya telah dirasakan oleh masyarakat, XR Bunga Terung juga menuntut agar kebijakan atau solusi atas krisis iklim berfokus pada keadilan iklim bagi masyarakat.
Ketimpangan akses terhadap sumberdaya alam telah membuat masyarakat tidak mempunyai ketahanan terhadap perubahan iklim. Tanpa keadilan iklim kebijakan iklim hanya akan menjadi komoditas yang menguntungkan segelintir kelompok atau orang tertentu.
(tim redaksi)