POJOKNEGERI.COM - Salah satu konsekuensi dari demokrasi “one man one vote” adalah membuka ruang para oligarki untuk ikut andil, bahkan mengatur situasi politik dalam sebuah negara.
Apalagi jika kaitannya dengan penentuan kepemimpinan nasional, maksudnya pemilihan presiden (pilpres).
Karena biasanya kaum oligarki selalu bicara kepentingan jangka panjang menyangkut kepentingan bisnisnya.
Nah, yang tak kalah menarik adalah bau oligarki yang sudah rada tercium jika melihat perkembangan politik jelang pilpres 2024 mendatang.
Aroma tersebut lebih terasa pasca-PDIP mendapuk Ganjar Pranowo sebagai capres, di Batu Tulis.
Jika sebelum PDIP mengumumkan Ganjar, pergerakan partai-partai politik masih biasa-biasa saja, hanya beda pada koalisi Partai Gerindra dan PKB yang sejak awal sudah mulai terjalin.
Belum lagi KIB yang terdiri dari Partai Golkar, PAN dan PPP. Sementara Partai Nasdem, PKS dan Partai Demokrat juga telah mengusung Anies Baswedan melalui Koalisi Perubahan.
Setelah Ketua Umum PDIP mengumumkan Ganjar, barulah, peta berubah drastis.
KIB akhirnya robek, hal ini ditandai ketika PPP langsung tancap gas mendukung Ganjar dan menjadi rekan koalisi PDIP.
Demikian halnya PAN yang tengah menjalin komunikasi.
Nah, operasi oligarki ini disinyalir atau diduga mulai agak terbaca ketika PPP sempat menyebut Sandiaga Uno sebagai cawapres Ganjar dan PAN sekarang terlihat jelas mengusung nama Erick Thohir.
Gambaran politik itulah yang mungkin menjadi jawaban, kenapa Sandiaga lompat pagar ke PPP sementara Erick Thohir coba menggunakan jaringan anak-anak muda NU, yang pada akhirnya dinobatkan sebagai anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dan sebagai ketua panitia Harlah seabad NU di Sidoarjo, Jawa Timur. Kira-kira Erick Thohir “di NU-kan.”
Artinya diduga dua tokoh (Sandiaga dan Erick) ingin mencoba mengambil klaim “Islam” dalam kontestasi pilpres yang selalu beraliran Nasionalis – Religius.
Apalagi hal ini ditegaskan oleh Megawati ketika menyematkan peci kepada Ganjar, Mega mengatakan bahwa peci/songko tersebut adalah simbolis Nasionalis-Religius sebagaimana pemikiran sang ayah, Sukarno.
Dengan demikian, bisa jadi para oligarki membidik “kepentingan” pada capres Ganjar Pranowo.
Skenario ini sebenarnya hampir saja buyar, ketika nama Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar sempat mencuat dalam hitungan 2-3 pekan.
Namun jika dibaca bisa jadi, ada pihak yang mencoba melempar nama Nasaruddin Umar hanya untuk sekadar “mengecek pasar.”
Nyatanya, PPP sempat menyebut nama lelaki asal Bugis, Sulawesi Selatan tersebut.
Paling tidak menjawab aliran politik mewakili Barat dan Timur Indonesia. Sayangnya, nama Nasaruddin tidak menggelinding seperti bola salju.
Mungkin banyak pihak beranggapan, bahwa isu politik identitas atas nama agama, tidak segarang pada Pilpres 2019 lalu, relatif kondusif, kira-kira demikian.
Toh, Partai Ummat yang coba menyuarakan kembali isu politik identitas yang dilontarkan Amien Rais juga kurang laku, hanya menjadi bumbu isu politik.
Jika isu politik identitas atas nama agama tidak mencuat, maka tokoh seperti Nasaruddin Umar tidak mendapatkan momentum untuk dilirik.
Lantas bagaimana dengan Anies? Anies sendiri hari ini mau tidak mau harus mengubah strateginya yang tadinya lebih soft, kini mulai agak keras, yakni dengan menyerang pemerintah alias memposisikan sebagai oposisi atau sekadar mempertegas julukan “antitesa” Jokowi.
Makanya ia lebih menggunakan black propaganda untuk mendongkrak elektabilitasnya, atau sekadar untuk bertahan agar namanya tetap disebut.
Karena konsep dasar propaganda adalah bagaimana informasi baik benar maupun salah harus disampaikan secara berulang-ulang agar dipersepsikan menjadi benar.
Ketika berbicara persepsi, maka itu ada pada wilayah pikiran. Ibarat kata “sihir pikiran-lah.”
Selain black propaganda, Anies juga terlihat menerapkan strategi “playing victim” dengan membangun isu, bahwa seakan-akan ia tengah berusaha dijegal oleh kekuasaan.
Kendati demikian, bila dilihat dari kepentingan oligarki, figur Anies masih menguntungkan, sebab kabarnya ia mudah diatur sehingga kepentingkan para oligarki terakomodir.
Contoh konkretnya adalah reklamasi Jakarta, yang sebelumnya ditolak keras Anies pada akhirnya diizinkan kelanjutannya.
Nah, saya curiga justru Prabowo yang sebenarnya tengah diserang habis-habisan. Sebab Prabowo yang mantan tentara ini kadang-kadang muncul jiwa patriotisme dan nasionalismenya.
Inilah yang diduga menjadi kekhawatirkan para oligarki.
Jangan-jangan ke depan semuanya di nasionalisasi, hal ini membahayakan kepentingan politik dan bisnis oligarki.
Jika sebelumnya ada “gerakan” untuk menjauhkan Jokowi dengan Megawati, kini kok seperti terlihat settingan agar Prabowo “harus dikalahkan” dalam pilpres mendatang.
Bisa dilihat, bagaimana seteru beberapa politisi Golkar dan PKB terkait Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang rebutan sebagai cawapresnya Prabowo, dimana Golkar ingin mencoba memaketkan Prabowo-Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar), sementara PKB keukeh menyodorkan nama Gus Muhaimin sejak awal.
Skenario menyodorkan nama Airlangga diduga tak lain untuk menggembosi pendukung Islam Prabowo dengan harapan kondisi itu bisa menguntungkan Sandi dan Erick meraup pendukung Islam Prabowo.
Sebab jika Gus Muhaimin yang ternyata nantinya diambil sebagai cawapres Prabowo, maka klaim Nasionalis – Islam sudah lebih dulu diambil.
Jika demikian adanya, maka cawapres Ganjar bisa dipastikan Sandiaga Uno, karena ada PPP di belakangnya, sebagai tujuan awal Sandiaga loncat ke PPP.
Oleh karenanya, dugaan upaya menjegal Gus Muhaimin sebagai cawapres ikut terlihat.
Namun jika Prabowo pada akhirnya memilih Airlangga Hartarto, maka PKB bisa dipastikan hengkang dan merapat ke PDIP.
Alasan memilih Airlangga dengan mengangkat isu bahwa sejak dulu Partai Gerindra dan Golkar punya kesamaan (rekam histori).
Skenario lainnya adalah Partai Gerindra ditinggalkan full, karena tidak mencapai presidential threshold (20 persen), maka mau tidak mau Gerindra akan dipaksa merapat ke Koalisi Perubahan, sehingga bersepakat paketnya adalah Prabowo – Anies Baswedan dan posisi ini masih menguntungkan oligarki.
Prediksi pasangan capres-cawapres;
- Prabowo – Gus Muhaimin versus Ganjar – Sandiaga Uno (jika dua paket).
- Prabowo – Gus Muhaimin, Ganjar – Sandiaga Uno dan Anies – AHY (jika tiga paket).
- Prabowo – Airlangga Hartarto, Ganjar – Sandiaga Uno dan Anies – AHY ( jika tiga paket).
- Prabowo – Airlangga Hartarto Vs Ganjar – Sandiaga Uno (jika dua paket).
- Prabowo – Airlangga Hartarto Vs Ganjar – Gus Muhaimin Iskandar (jika dua paket).
- Prabowo – Airlangga Hartarto, Ganjar – Gus Muhaimin Iskandar dan Anies – AHY (jika tiga paket).
Nama-nama pasangan tersebut sebatas prediksi yang dilihat dari komposisi kepentingan partai politik yang berkoalisi.
Namun di luar nama-nama tersebut, figur lain yang sebenarnya bisa menjadi kandidat cawapres berdasarkan perkembangan situasi politik antara lain, dan nama-nama ini tidak bisa disepelekan.
Belajar dari kasus terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi melalui analisis politik kualitatif, dimana sosok Ma’ruf Amin elektabilitasnya secara kuantitatif rendah di lembaga-lembaga survei.
Antara lain:
- Mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj.
- Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar.
- Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
- Menko Polhukam Mahfud MD.
- Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
- Namun kembali lagi, para oligarki masih terus mengocok ulang kartu guna meloloskan kepentingan politik dan bisnis.
Sumber: https://sonnymajidblog.wordpress.com/2023/06/07/operasi-politik-para-oligarki/