POJOKNEGERI.COM, SAMARINDA - Edi Damansyah, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) saat ini disebut-sebut akan kembali bertarung dalam gelanggang Pilkada Kukar 2024.
Hal ini tentu menjadi sorotan banyak pihak, sebab berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Edi Damansyah terhitung sudah dua periode menjabat sebagai Bupati Kukar.
Seorang praktisi sekaligus akademisi di Universitas Kutai Kartanegara, La Ode Ali Imran menilai peluang Edi Damansyah untuk kembali maju di Pilkada Kukar tentu akan menjadi ancaman terhadap demokrasi.
Hal ini diungkapkannya sebagai pemateri dalam diskusi inisiasi Recome Institute bertajuk "Potret Demokrasi dan Pilkada Kaltim" yang digelar di Zoro Cafe (Arena Folder Air Hitam) pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Menurutnya, ancaman ini berpotensi terjadi jika Edi Damansyah, yang sudah menjabat dua periode, tetap memaksakan diri untuk mencalonkan kembali.
"Ancaman demokrasi di Pilkada Kukar bisa terjadi jika ada pelanggaran norma hukum yang mencederai demokrasi dan bermuara pada absolutisme kekuasaan," ujarnya.
Dalam konteks peraturan perundang-undangan, La Ode menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 7 Ayat 2 huruf N mengatur bahwa kepala daerah yang sudah menjabat dua kali tidak boleh mencalonkan diri lagi.
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PUU-XXI/2023 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kepala daerah definitif dan penjabat sementara dalam hal ini, makanya putusan ini bersifat final and binding serta mengikat semua institusi negara yang terkait," tambahnya.
Lebih lanjut, Ali Imran mengacu pada pengalaman Pilkada Kukar 2020 yang mana meskipun ada rekomendasi dari Bawaslu untuk mendiskualifikasi Edi Damansyah, KPU Kukar tetap meloloskannya.
"KPU Kukar berani pasang badan dan tetap melanjutkan pencalonan Pak Edi, kita khawatir ya kejadian yang serupa terulang di Pilkada 2024 jika KPU kembali tidak menegakkam aturan," ujarnya.
Menurutnya, jika KPU Kukar tetap meloloskan Edi Damansyah yang tidak memenuhi syarat hanya akan membuang banyak energi dan anggaran publik.
"Jika ini terjadi, maka publik harus menghabiskan banyak energi dan biaya untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum, yang memakan waktu dan biaya besar. Dan jika pilkada harus diulang, ada potensi adanya penjabat selama lima tahun, yang tentunya bukan hal ideal bagi demokrasi kita," kata Ali.
Ia juga menekankan pentingnya penyelenggara Pilkada untuk menegakkan aturan secara tegas guna menjaga integritas proses demokrasi.
"Penyelenggara harus bekerja menegakkan aturan agar tidak banyak energi dan anggaran yang terbuang sia-sia," pungkasnya.
(*)