POJOKNEGERI.COM - Ini hanya analisa yang subjektif, atas perkembangan politik beberapa pekan terakhir.
Mulai dari GP Mania yang tarik dukungan terhadap Ganjar Pranowo, Abu Janda yang mendukung Prabowo, belum jelasnya koalisi partai politik dalam pengusungan bakal capres dan cawapresnya, pernyataan Partai Ummat yang ingin memainkan politik identitas, hingga persoalan Formula E dan sumbangan kampanye yang ditujukan kepada Anies Baswedan.
Namun sebelum masuk kesitu, saya tegaskan dulu, bahwa fungsi relawan khususnya di perpolitikan Indonesia hanya mengendorse salah satu figur sesuai pesanan sang bandar.
Sangat berbeda dengan relawan-relawan di sejumlah negara di Eropa.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, relawan murni bergerak sendiri, bahkan berani menyiapkan anggaran secara mandiri untuk pendanaan kampanye sang calon yang didukung.
Bukan tanpa syarat, biasanya relawan ini mengajukan kontrak politik yang berisikan program-program kerja yang harus diwujudkan oleh sang calon yang didukung. Jika tidak, maka relawan akan menarik dukungan.
Oleh karenanya, di banyak negara Barat, ketika si calon yang didukung terpilih, kemudian bertindak keluar dari kontrak politik dalam menjalankan kekuasaan, maka relawan memposisikan diri sebagai juru kritik.
Berbeda kasus di Indonesia, relawan cenderung merasa posisinya sejajar dengan partai politik yang bisa mengusung calon.
Relawan mengendorse dengan harapan mendapat kompensasi. Maka, banyak ditemui pentolan relawan menduduki jabatan komisaris ketika calon yang diusung menjadi pemenang.
Selain mengendorse, relawan di Indonesia juga difungsikan sebagai buzzer, yang punya tugas membangun opini di tengah masyarakat, biasanya dengan segala cara, termasuk penggunaan hoaks.
Kadang di permukaan mereka terlihat berbeda, saling tabrak, saling serang. Namun jika si bandar menginstruksi, maka mereka yang sebelumnya berbeda pandangan, saling serang, pada akhirnya berkawan.
Faksi cebong dan kadrun adalah salah satu produk para relawan/buzzer yang diperintah atas keinginan bandar, dengan harapan terjadi polarisasi di masyarakat. Lantas apa kepentingan si bandar, sudah pasti kepentingan yang “lebih besar.”
Paling tidak agar masyarakat tidak terlalu menyoroti kepentingannya. Masyarakat terbawa arus opini pesanan yang dimainkan para buzzer.
Banyak media terbawa dalam ritme permainan isu para buzzer ini. Kendati harus dimaklum, dengan kemajuan teknologi informasi seperti ini, mau tidak mau, media mainstream harus bersaing ketat dengan sosial media. Mereka (media mainstream) harus menapaki era new media.
Untuk mempertahankan eksistensinya, maka media mainstream harus punya diferensiasi produk (berbeda), semisal laporan investigasi dan liputan eksklusif yang tidak terkover/luput dari pantauan publik melalui sosial media. Ambil contoh mengenai laporan Kompas tentang joki Guru Besar. Dengan laporan mendalam, in-deep, maka kredibilitas media mainstream tersebut tetap terjaga di tengah gerusan sosial media.
Dari runutan eskalasi politik yang berkembang, seperti memberi isyarat, bahwa arah dukungan diberikan kepada Prabowo Subianto, sebagai bakal capres.
Vis a vis di awal, tampak sekali di permukaan desain berseterunya adalah kelompok pro Anies dan pro Ganjar. Situasi ini justru akan menguntungkan Prabowo karena tidak terjebak pada ritme permainan (desain konflik) para relawan/buzzer tersebut.
Kendati ujungnya, justru masalah perjanjian pinjaman (utang) dana kampanye Anies dari Sandiaga Uno pada pilkada Jakarta 2017 lalu muncul, namun Sandi meresponnya ciamik, dengan mengatakan bahwa dia telah mengikhlaskan dana pinjaman Rp50 miliar itu.
Akhirnya isu beralih ke pihak di luar Sandi yang ikut memberikan pinjaman, yang berujung pada persoalan pidana, karena dianggap melanggar ketentuan peraturan terkait dana kampanye.
Di lain sisi, para pro Anies, memanfaatkan momentum ini untuk menguatkan skenario “playing victim” yang selama ini dipakai. Mumpung ada objek yang dikeluarkan pihak lain.
Karena sebelum-sebelumnya, serangan demi serangan yang ditujukan kepada Anies itu murni buatan para buzzernya alias timnya sendiri, karena Anies yang tidak menjabat lagi sebagai Gubernur Jakarta harus terus menjadi perbincangan.
Sementara Ganjar lebih memilih sikap soft. Dia memilih menyuarakan program ketimbang bermain isu politik. Dengan harapan elektabilitasnya terus naik. Meski sampai sekarang masih terganjal di internal PDIP yang belum mengumumkan bakal capres yang diusungnya.
Ganjar dan Anies berpotensi menjadi “tumbal politik” dalam kasus Pilpres 2024.
Keduanya bisa jadi justru tidak diusung, karena bandar menginginkan kandidat lain, atau sedang bernegosiasi terkait “kepentingan yang lebih besar” namun belum mencapai kata sepakat. Kita lihat saja nanti, “kepentingan besar” apa yang muncul nanti.
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
(redaksi)