"Mereka ramai-ramai akan menjual ke luar untuk diekspor. Nah kemudian mereka bersekongkol menentukan harga yang sama dan kemudian itulah ada dugaan kartel," tuturnya.
Seperti diketahui pada akhir tahun 2021 kemarin harga minyak goreng yang naik, pemerintah mengatakan hanya sampai Natal dan Tahun Baru saja, namun kenaikan harga masih terasa oleh masyarakat hingga sekarang.
"Pilihan pahit bagi konsumen ketika HET barang murah tapi tidak ada stok, tapi setelah HET di cabut barangnya banyak tapi mahal, nah ini disimpulkan ada dugaan kartel atau mafia," katanya.
Pihaknya pun mendorong agar Pemerintah Pusat dapat membentuk Satgas Anti Mafia Minyak Goreng, agar sugaan terhadap Mafia minyak goreng ini dapat diberantas dari masyarakat.
"Kalau dulu ada Satgas Anti Mafia Gas, Satgas Anti Mafia Obat-obatan, kenapa sekarang tidak ada Satgas Anti Mafia Minyak Goreng tidak dibentuk? Nah ini yang kami perhatikan sebagai lembaga konsumen dan pemerhati kebijakan publik," katanya.
Disebutkan ada 3 komoditas yang tidak bisa disentuh kebijakan, yakni soal tembakau, batu bara, dan sawit, sebab ketiga ini melibatkan ologarik yang sangat kuat di legistilaktif, ekesekutif, dan partai politik yang sangat sulit untuk diotak-atik.
Minyak goreng di Indonesia menjadi eksportir terbesar di dunia, dengan penghasil CPO terbesar di dunia, namun ternyata dalam kebijakan Indonesia kalah dengan Malaysia karena kebijakan CPO warga sipil di internasional ditentukan oleh Malaysia bukan Indonesia.