POJOKNEGERI.COM - Belasan warga suku adat Batak Karo di Kecamatan Loa Janan Ilir terlihat menyambangi kantor DPRD Samarinda pada Senin (19/12/2022) siang tadi.
Kedatangan warga Batak Karo itu ingin mengadukan permasalahan pembangunan gereja yang sejak 2016 tak pernah mendapat izin pembangunan, tepatnya di Jalan SMP 8, RT 29, Kelurahan Rapak Dalam.
Dijelaskan Hermes Sitepu, Ketua Pembangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) bahwa karena selalu terkendala izin pembangunan gereja itulah kini masyarakat Batak Karo ingin mengadukan perihal itu ke DPRD Samarinda, khususnya legislatif di Komisi I.
Lebih jauh diungkapkannya, terkait perizinan pihaknya mengaku telah memenuhi beberapa di antaranya, sebagaimana yang telah ditentukan Undang-Undang melalui SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah.
"Sebenarnya dari persyaratan sudah jelas ya, udah selesai. Cuma ada unsur-unsur sosial di masyarakat yang memang harus diselesaikan. Nanti ada rekomendasi dari Anggota Dewan Kota Samarinda, kita teruskan ke instansi terkait dan mencari jalan keluarnya bersama-sama," ungkap Hermes usai pertemuan di kantor DPRD Samarinda..
Salah satu syarat yang telah dipenuhi kata Hermes, ialah mendapat persetujuan lebih dari 60 warga sekitar sebagaimana yang diatur dalam syarat minimal pembangunan rumah ibadah.
"Jadi kita sudah mencapai target, 6 tahun yang lalu sudah semua. Dan ini sudah langkah-langkah yang berpuluh-puluh kali kami lakukan. Kami adalah warga Indonesia dan kami juga mempunyai hak untuk beribadah," timpalnya.
Karena gereja GBKP belum kunjung terbangun, hingga saat ini kelompok warga Batak Karo di Samarinda menjalankan ibadah di berbagai tempat dengan sistem sewa.
Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Samarinda, Zaini Naim yang turut hadir dalam pertemuan menerangkan kalau sejatinya untuk membangun izin rumah ibadah harus mendapatkan beberapa persyaratan. Satu di antaranya adalah rekomendasi yang dikeluarkan oleh FKUB Samarinda.
“Kalau orang mau bangun rumah ibadah harus minta rekomendasi dulu. Kalau saya turunkan Pokja di FKUB itu karena rekomendasi anggota lintas agama. Kemudian Pokja adalah rekonsiliasi, jadi ketika ada permasalahan mereka yang turun supaya bisa aman,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, adalah ketika terjadi permasalahan pembangunan rumah ibadah di sosial masyarakat maka Pokja Samarinda akan turun terlebih dulu untuk menyelesaikan dan mensosialisasikan peraturan yang ada.
“Jadi yang ketiga ketika ada permasalahan karena tidak mengerti aturan, maka Pokja akan turun melakukan penyuluhan terkait. Itu yang sudah kita lakukan dalam dua periode ini,” tambahnya.
Selain permasalahan dan persetujuan dilingkungan sosial, untuk membangun rumah ibadah selanjutnya adalah persetujuan dari pemerintah mulai dari tingkatan RT, Lurah, Camat dan hingga akhirnya dari Wali Kota Samarinda.
“Kalau misalnya RT tidak setuju tapi semuanya yang ke sini setuju, yang penting masih dalam kelurahan itu. Kalau kelurahan tidak setuju baru ke kecamatan. Seperti itu. Kalau lurah sudah tanda tangan, maka saya mengeluarkan rekomendasi itu,” tegasnya.
Setelah FKUB mengeluarkan rekomendasi, maka Pemkot Samarinda harus melakukan tindak lanjut pengeluarkan IMB terkait pembangunan rumah ibadah tersebut.
“Setelah dua minggu FKUB mengeluarkan rekomendasi wali kota harus mengeluarkan itu (IMB). Tidak boleh lama,” tekannya lagi.
Pemberian rekomendasi FKUB pun secara teknis akan diberikan di tempat terbuka untuk diketahui seluruh pihak.
“Itu (rekomendasi) tidak di atas meja, tapi saya datang ke lingkungan itu, baru meminta pihak gereja memanggil orang dilingkungan situ, baru saya tanda tangani di depan orang banyak. Supaya orang tahu ini tegak," pungkasnya.
Tanggapan dewan di DPRD Samarinda
Sementara itu, Komisi I DPRD Samarinda juga menanggapi keluhan dari masyarakat Batak Karo di Kecamatan Loa Janan Ilir terkait pembangunan gereja yang tak kunjung rampung sejak 2016 silam.
Terkait pembangunan Gereja Batak Karo Protestan di Jalan SMP 8, RT 29, Kelurahan Rapak Dalam itu, para dewan pun meminta agar seluruh pihak terkait bisa mengikuti aturan berlaku.
“Jadi aduan warga ini mulai 2016 ya, dan kita mengundang semua pihak. Kita memfasilitasi permasalahanya di mana,” ucap Joha Fajal, Ketua Komisi I DPRD Samarinda kepada awak media.
Lanjut Joha, pertama yang menjadi polemik ialah terkait perizinan pembangunan daerah.
“Di tingkat kelurahan menjelaskan bahwa rekomendasi bisa diberikan dengan catatan minimal 60 orang memberi rekom di RT setempat. Kalau kita bicara ketentuan SK bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri maka persyaratannya bukan di RT tapi di tingkat kelurahan (60 rekomendasi dukungan warga sekitar),” terangnya.
60 suara dukungan dari warga dilingkungan kelurahan sekitar, juga bukan menjadi perihal baku. Sebab jika hal tersebut tak terpenuhi, maka persyaratan bisa dinaikan ke tingkat kecamatan setempat.
“Artinya yang dipersyaratkan itu di tingkat kelurahan. Kalau tidak memenuhi, bisa naik di kecamatan demi untuk mempermudah masyarakat menjalankan ibadah secara menyeluruh,” tegasnya.
Dengan jelasnya syarat dan aturan yang berlaku berdasarkan SK bersama dari kementerian itu, Joha pun meminta agar seluruh pihak bisa mengikuti dan menjalankan aturan tersebut.
Sehingga ke depan tidak lagi ada polemik serupa, khususnya bagi masyarakat Kota Tepian untuk mendapatkan haknya sebagai umat beragama.
“Komisi satu minta ini dijalankan sesuai aturan. Ini kan yang jadi permasalahan adalah pihak kelurahan yang belum memberikan rekomendasi. Makanya kami sarankan jalan sesuai ketentuan dan porsi masing-masing. kelurahan, perizinan kecamatan dijalankan dan FKUB-nya. Kalau sudah seimbang pasti akan berjalan dengan baik,” pungkasnya.
Di pihak lain, Lurah Rapak Dalam M Ade Nurdin yang dihubungi awak media, hingga berita ini ditulis belum memberikan jawaban perihal rekomendasi untuk pembangunan gereja tersebut.
Dihubungi via sambungan telepon WhatsApp, M Ade Nurdin belum menjawab sambungan yang dilakukan.
(redaksi)