POJOKNEGERI.COM - Indonesia memenangkan sengketa dagang akan diskriminasi Uni Eropa terhadap kelapa sawit RI di di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Dunia atau Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO.
Kemenangan tersebut memberi catatan manis pada 100 hari pertama Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyampaikan pemerintah menyambut baik Putusan Panel WTO pada 10 Januari 2025 lalu pada sengketa dagang terkait kelapa sawit yang telah diperjuangkan beberapa tahun silam.
"Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim, sebagai dasar agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan yang diskriminatif," ujarnya dalam keterangan resmi belum lama ini.
Uni Eropa masih bisa mengajukan banding atas putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan bahwa Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit asal Indonesia.
Banding masih bisa diajukan dalam jangka waktu 20-60 hari ke depan.
Namun, apabila tidak ada pengajuan keberatan atau banding, maka laporan panel WTO akan diadopsi dan langsung menjadi keputusan yang mengikat.
Adapun sebelumnya WTO melalui Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) menyatakan bahwa UE telah melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit asal Indonesia.
Putusan ini tercantum dalam laporan panel WTO pada 10 Januari 2025, menindaklanjuti gugatan Indonesia yang diajukan pada 9 Desember 2019.
Dalam laporan tersebut, WTO menyatakan bahwa Uni Eropa memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap biofuel berbasis kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan produk serupa dari Uni Eropa, seperti grapeseed (minyak biji anggur) dan bunga matahari.
Selain itu, UE dinilai memberikan keuntungan lebih kepada produk impor seperti kedelai.
Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation yang diberlakukan UE dinilai diskriminatif karena mengategorikan kelapa sawit sebagai komoditas dengan risiko tinggi alih fungsi lahan (high ILUC-risk) tanpa kajian data yang memadai.
Prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam RED II juga mendapat sorotan dari WTO karena dinilai tidak transparan.
Dengan adanya putusan WTO ini maka UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan Delegated Regulation agar mematuhi aturan WTO.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah Indonesia berkomitmen memantau perubahan regulasi UE agar sesuai dengan putusan WTO.
Airlangga menegaskan bahwa jika Uni Eropa tetap menghalangi ekspor sawit, Indonesia akan menggunakan jalur diplomasi dengan melibatkan mitra strategis seperti Amerika Serikat.
Dalam penjelasannya, Airlangga juga menyebut kemenangan Indonesia di WTO menjadi bukti pengakuan internasional terhadap biodiesel berbasis minyak kelapa sawit (CPO).
“Kemarin kita menang di WTO untuk kelapa sawit. Ini membuktikan bahwa Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia,” kata Airlangga Hartarto.
Airlangga juga menyoroti insentif pajak biofuel di Prancis yang terbukti diskriminatif terhadap biofuel berbasis kelapa sawit.
Uni Eropa diminta untuk menyesuaikan kebijakan Delegated Regulation sesuai aturan WTO.
Keputusan ini, menurut Airlangga, dapat berdampak pada kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang implementasinya ditunda hingga Desember 2025.
Airlangga berharap momen ini menjadi peluang bagi Indonesia dan Malaysia untuk memperkuat strategi agar komoditas sawit tidak lagi mengalami diskriminasi.
“Dengan kemenangan ini, saya berharap hambatan dalam perundingan IEU-CEPA dapat diselesaikan segera” pungkas Airlangga.
Aerikel ini telah tayang di YouTube Pojok Negeri Media: https://www.youtube.com/watch?v=nbTFJ5O9_K0
(*)