POJOKNEGERI.COM - Gugatan diajukan salah seorang warga ke Mahkamah Konstitusi.
Yang dilakukan adalah judicial review (JR) Undang-Undang Perkawinan.
Warga yang mengajukan JR UU Perkawinan itu adalah Ramos Petage.
Ia adalah warga Dogiyai, Papua.
Apa penyebab muncul gugatan JR?
Ramos Petage mengajukan JR UU Perkawinan itu dikarenakan dirinya tak bisa menikahi seorang wanita.
Wanita itu beragama Muslim, sementara dirinya Katolik.
"Pemohon adalah warga negara perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Akan tetapi setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda," demikan bunyi permohonan Ramos Petage dalam permohonan yang dilansir dari website MK, Senin (7/2/2022).
Sebagai informasi, dalam UU Perkawinan, diatur syarat sahnya suatu perkawinan yang tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.
Terlampir dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
"Ketidakpastian tersebut secara actual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara," tutur Ramos Petage dikutip dari detik.com
Di MK, gugatan Rames Petage pernah diputus dan hasilnya ditolak dalam putusan Nomor 68/PUU-XII/2014. Namun Ramos Petage menilai permohonannnya berbeda dan bukan nebis in idem.
Menurut Ramos Petage, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Sebab, kata Ramos Petage, negara tidak mencampuri urusan ibadah agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia akan tetapi menjamin keberlangsungan peribadatan tersebut dapat terlaksana dan terpenuhi dengan baik.
"Perkawinan yang dilangsungkan secara beda agama tetap berlandaskan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilaksanakan melalui ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing calon pasangan sebagai suatu hak asasi manusia yang bersifat adikodrati dan merupakan hak privat antara individu dengan Tuhan Yang Maha Esa," beber Ramos Petage.
Selain itu, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan juga dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
"Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU HAM tersebut secara jelas menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan adanya kehendak bebas (tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan dari pihak manapun) dari calon pasangan, oleh karena itu, sejatinya perkawinan (beda agama) merupakan bagian dari hak kodrati yang melekat pada diri seseorang yang tidak dapat dipaksakan oleh negara melalui perangkat hukum yang dibentuknya dan terhadap Pasal 2 ayat (1) dalam perkara a quo bahwa perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama untuk menentukan secara bebas akan tunduk pada hukum agama dan kepercayaannya tertentu dalam melangsungkan perkawinannya," urai Ramos Petage.
Permohonan judicial review itu didaftarkan secara online dan kini diproses di kepaniteraan MK.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)