POJOKNEGERI.COM - Pengamat politik dari Universitas Pamulang (Unpam) Sonny Majid singgung isu saling serang antara Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Hal ini diutarakan Sonny Majid dalam tulisannya yang berjudul "NU si-kembang gula".
"Isu saling serang antara Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun secara organisasi ya, bukan individu, meski serang-menyerang itu sasaran tembaknya lebih kepada sosok Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar, biasa disapa Cak Imin atawa Gus Muhaimin," kata pengamat pemerintahan dari Unpam ini.
Dalam opininya, Sonny Majid mengatakan, mendekati pengumuman bakal capres-cawapres tontotan saling serang antara PBNU dan PKB kembali mencuat
"Mendekati pengumuman bakal capres – cawapres tontotan tersebut kembali mencuat, selain figur Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), serangkaian serangan tersebut juga mulai memanfaatkan putri mendiang Gus Dur, Yenny Wahid," ujar Dosen Unpam ini.
Sonny Majid juga mengatakan, isu ini kerap kali muncul setiap hendak digelar Pemilu
"Ironisnya, isu ini selalu mencuat setiap hendak digelar Pemilu. Saya nafikkan dulu seteru pada “darah biru” di NU tersebut," sebutnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam tulisannya lebih menyoroti soal saling serang antara PBNU dan PKB.
"Dalam tulisan ini saya lebih menyoroti dalam bahwa pemandangan tersebut lebih pada upaya kelompok-kelompok di luar NU yang melakukan infiltrasi melalui personal orang-orang, yang notabene adalah tokoh-tokoh inti NU," ujarnya dalam tulisannya.
Simak berikut tulisan lengkap Sonny Majid dengan Judul " NU si-kembang gula"
Sempat sepi, isu saling serang antara Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun secara organisasi ya, bukan individu, meski serang-menyerang itu sasaran tembaknya lebih kepada sosok Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar, biasa disapa Cak Imin atawa Gus Muhaimin.
Mendekati pengumuman bakal capres – cawapres tontotan tersebut kembali mencuat, selain figur Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), serangkaian serangan tersebut juga mulai memanfaatkan putri mendiang Gus Dur, Yenny Wahid.
Ironisnya, isu ini selalu mencuat setiap hendak digelar Pemilu. Saya nafikkan dulu seteru pada “darah biru” di NU tersebut. Dalam tulisan ini saya lebih menyoroti dalam bahwa pemandangan tersebut lebih pada upaya kelompok-kelompok di luar NU yang melakukan infiltrasi melalui personal orang-orang, yang notabene adalah tokoh-tokoh inti NU.
Meski belakangan, banyak juga tokoh-tokoh inti NU lainnya, lebih memilih untuk membicarakan “sesuatu yang lebih besar.”
Dugaan agendanya bisa jadi, mendorong figur di luar NU (non NU), keinginan tokoh di luar Gus Muhaimin yang juga ingin jadi bacawapres, dan mendegradasi kekuatan NU itu sendiri jelang pesta politik 2024 mendatang. Mengingat NU selalu menjadi “gula” lantaran basis massanya yang menjadi potensi suara.
Keberagaman di internal NU – Nahdliyyin inilah yang menjadi “rujakan” kelompok di luar NU, yang diduga tak menginginkan NU mendapat kekuasaan. Sayangnya, masih ada sejumlah kalangan NU menanggapinya secara parsial tidak simultan. Alhasil yang keluar adalah cara pandang yang sempit, selalu vis a vis.
Padahal siapapun kyai di NU selalu mengajarkan kepada kita semua, bahwa warga NU tidak boleh alergi dengan politik.
Bagaimana mungkin bisa mewujudkan politik kebangsaan NU, jika kita sendiri tidak pernah mau berkolaborasi dengan gerakan politik, yang nantinya justru menghasilkan kebijakan politik kebangsaan.
Dalam konteks NU secara organisasi/kelembagaan menjadi gerakan penyeimbang atau mesin analisis, saya sepakat. Tapi bukan diwujudkan dengan vis a vis menyerang individu/personal. Akan lebih epik jika NU dan PKB secara kelembagaan bersinkronisasi dalam kepentingan yang lebih besar, yakni politik kebangsaan tadi.
Yang perlu diingat bahwa PKB didirikan oleh NU, sebagaimana keinginan para kyai sepuh menjadikan PKB sebagai saluran aspirasi politik warga NU. Apabila ada oknum tertentu yang mengatakan PKB bukan saluran aspirasi politik warga NU, maka itu ahistoris.
Jika ingin memberikan seluas-luasnya kepada kader NU berkiprah di partai lain, tidak harus mendegradasi PKB yang didirikan NU. Toh, banyak kader-kader NU yang menyalurkan aspirasi politiknya di luar PKB, gak pernah ribut-ribut, mereka tetap jalan, bahkan berkolaborasi dengan PKB sebagai mitra politik.
NU dan PKB sejak dulu punya potensi sangat besar, terlebih sekarang ditopang oleh kader-kader muda yang saya lihat punya kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Inilah yang menurut saya, harus dimanfaatkan secara maksimal.
Banyak kader-kader NU, Prof Said Aqil Siroj, Gus Muhaimin, Khofifah Indar Parawansa, Prof Nasarudin Umar, Yenny Wahid, Gus Yaqut, Gus Yahya dan lainnya masuk radar kepemimpinan nasional, kok kita malah disibukkan saling menyerang sesama.
Jadi jangan lagi terbawa arus susupan kepentingan pihak di luar NU, yang ingin mencerai-beraikan kekuatan NU itu sendiri. Kendati, menggunakan tokoh-tokoh inti NU, atau memanfaatkan isu “dendam” politik.
Di saat banyak anak-anak muda NU menyuarakan keberagaman, solidaritas, persatuan, NKRI harga mati, perdamaian, dan lainnya yang bersifat humanisme, justru sebaliknya kita dipersaksikan “drama” yang bertolak belakang dengan apa yang disuarakan selama ini.
Alih-alih ingin “bergaining posisi”, eh…malah gak dapat apa-apa.
(*)