POJOKNEGERI.COM - Mahkamah Konstitusi baru saja menggelar sidang perdana Judicial Review Undang-Undang Minerba.
Dalam sidang yang berlangsung selama satu jam dengan agenda pemeriksaan pendahuluan tersebut, tiga orang hakim MK yakni Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, dan Suhartoyo mempermasalahkan beberapa hal yang menjadi pokok permohonan di antaranya terkait hak pemerintah daerah dalam penerbitan dan pengawasan pertambangan hilang karena ditarik pemerintah pusat.
Selain itu, UU Minerba ini juga membuat warga negara kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat karena adanya pasal kriminalisasi.
Nur Aini, warga Banyuwangi yang menjadi salah satu pengaju JR UU Minerba menjelaskan bahwa sebagai warga yang hidup di lingkar tambang emas Tumpang Pitu, Ia merasakan betul kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang.
“Tahun 2016 pernah banjir lumpur. Sampai jebol mencemari laut juga, sampai (berwarna) hitam. Kalau kemarau gak pernah kering dulunya, tapi kemarin sudah kering. Ini terjadi sudah dua tahun terakhir. Kalau pertambangan terus terjadi, ini kan makin parah. Kita hidup itu butuh tempat. Kalau gak ada rakyat, ya gak ada pemerintah. Rakyat yang dikampung itu yang harus dipelihara oleh pemerintah,” kata Paini.
Kehadiran tambang tak hanya merusak lingkungan, kehadiran tambang juga mengancam keselamatan dia dan keluarga. Kelompok pro tambang mengancam hendak membakar rumah Aini karena Ia dan warga gigih menolak kehadiran industri ekstraktif milik Merdeka Gold Copper.
“Saya tidak melawan pemerintah. Justru ingin mempertahankan negara. Gunung Tumpang Pitu itu bentengnya Pulau Jawa. Benteng bagi nelayan, benteng dari puting beliung, dan benteng sumber air. Kalau gunung-gunung dihabiskan, masyarakat itu mau kemana? Kita ingin hidup layak. Kita mencari kemerdekaan dan kedamaian,” tambahnya.
Pradarma Rupang dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur mengatakan bahwa kewenangan pemerintah daerah yang ditarik ke pemerintah pusat tersebut akan memposisikan warga semakin menjadi korban industri pertambangan.
“Tata ruang, itu bagian dari hak konstitusional warga sipil di daerah yang justru jadi korban dari rezim pertambangan. Di Kalimantan Timur misalnya, di sana ada kehidupan. Ada sumber penghidupan. Daerah itu bukan ruang kosong,” ujar Rupang.
Tim advokasi JR UU Minerba menganggap bahwa hakim Mahkamah Konstitusi seharusnya mengenal adanya hukum progresif yang fungsinya mendorong penegakkan hak asasi manusia. Dalam hal kewenangan pemerintah daerah yang dicabut, tim advokasi menyoroti partisipasi publik yang hilang karena adanya perubahan kewenangan dari daerah ke pusat.
“Bu Aini sudah menjelaskan bahwa sebagai warga negara, Ia kehilangan hak seperti penghilangan sumber kehidupan. Lalu terkait pencabutan kewenangan pemerintah daerah, akhirnya akses masyarakat untuk mengawasi sudah tidak ada lagi di tingkat daerah. Saat ini, ketika warga mengadukan kerugian akibat pertambangan, bupati dan gubernur menolak untuk membantu masyarakat dengan alasan kewenangannya dicabut pemerintah pusat. Apakah kita ingin seperti warga Toba, Sumatera Utara yang harus berjalan menempuh ribuan kilometer untuk berjumpa Presiden? Bayangkan jika warga Papua, Jawa Timur, dan Bangka Belitung harus mengadu ke Jakarta,” ungkap Muhammad Isnur, kuasa hukum pemohon dari YLBHI.
“Kuasa hukum akan memperbaiki poin-poin yang menjadi nasehat hakim. Hakim sudah menyampaikan bahwa kita mempunyai waktu 14 hari untuk perbaikan. Kita akan memperbaiki di sidang 23 Agustus nanti. Tanggal 22 Agustus sore, kita akan submit perbaikannya. Kita berharap setelah tanggal 23 sidang perbaikan, mudah-mudahan dilanjutkan,” tutup Lasma Natalia.
(redaksi)