POJOKNEGERI.COM - Cerita diberikan Romo Magnis, Imam Katolik saat berbincang bersama Habib Husein Ja'far, Tokoh Muda Muslim.
Termasuk salah satunya pengalaman Romo Magnis akan perang yang pernah ia rasakan.
Dilansir dari popnews.id Romo Magnis diketahui, berkebangsaan Jerman.
Ia lahir di Jerman pada 86 tahun yang lalu.
Dirinya pernah rasakan akibat dari Perang Dunia ke 2.
Termasuk diusir dari tanah kelahiran.
Ia pun masih menyimpan kartu tanda pengungsi. Saat itu, sekitar 12 juta orang diusir dari tanah kelahirannya.
"Saya masih punya kartu pengungsi diberikan kepada orang Jerman. Saya masih bawa itu. Kami dapat setelah perang dunia ke 2. Itu sudah lama," ujarnya, seperti dilihat pada tayangan YouTube Jeda Nulis berjudul Romo Magnis: Filsafat, Agama, Perang, dan Etika, dilihat Selasa (14/3/2023).
Berlanjut, ia kemudian menceritakan bagaimana dirinya masuk ke Indonesia.
Romo Magnis menceritakan bahwa ia masuk ke Indonesia untuk membantu gereja. Saat itu, ia adalah anggota salah satu Tarekat Katholik Jesuit.
Di Tarekat itu, diharuskan untuk tidak menikah, dan juga tidak boleh memiliki milik pribadi.
'Saya tidak punya milik pribadi, saya bahkan tidak punya rekening bank," kata Romo Magnis.
Tarekat Katholik Jesuit itu sudah bekerja di Indonesia sejak tahun 50-an, menggantikan Misionaris Belanda yang tidak bisa lagi, karena masalah Irian Barat saat itu.
Saat itu, dikatakan Romo Magnis, di Jerman dirinya juga sudah mempelajari ideologi-ideologi komunisme yang juga menjadi musuh gereja.
Romo Magnis pun mempelajari ideologi-ideologi itu, karena berpikir bahwa untuk memerangi musuh, juga harus mengetahui pola pikir mereka.
Kemudian, tersiar kabar bahwa di Indonesia, sedang berkembang adanya partai yang berlandaskan komunisme, yakni Partai Komunis Indonesia atau PKI.
"Saya merasa barangkali bagi gereja Katholik di Indonesia berguna kalau punya seseorang ahli mengenai teori komunisme. Karena itu saya melamar dan saya ke sini (Indonesia)," ujarnya.
Saat tiba di Indonesia itu, Romo Magnis ungkap dirinya jatuh cinta dengan masyarakat dan budaya Jawa.
Hal itu karena saat dirinya tiba di Indonesia, bahasa Jawalah yang ia pelajari.
"Kami datang tujuh orang, semuanya sudah tidak di sini kecuali saya. kami belajar bahasa jawa lebih dahulu. Karena kemungkinannya kami akan bekerja di Jawa. Dan disitu bahasa Jawa sebetulnya perlu," katanya.
(redaksi)