POJOKNEGERI.COM - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diagendakan untuk disahkan pada Selasa (6/12/2022).
Dalam draft RKUHP itu juga akan tetap mengatur perihal tindak pidana perzinaan dan kohabitasi atau kumpul kebo.
Dua tindak pidana tersebut merupakan delik aduan.
Dilansir dari naskah RKUHP terbaru tanggal 30 November 2022, tindak pidana perzinaan bisa diusut jika ada aduan dari pihak yang dirugikan seperti suami/istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua/anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II," demikian bunyi Pasal 411 ayat (1) RKUHP.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Sementara itu, larangan kumpul kebo diatur dalam Pasal 412 RKUHP. Pelanggar diancam hukuman penjara paling lama enam bulan.
Seperti tindak pidana zina, kumpul kebo bisa diproses hukum apabila ada aduan dari suami/istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua/anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Pengaduan juga dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
"Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30," bunyi Pasal 412 ayat 3.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan zina dan kumpul kebo hanya bisa diproses jika ada aduan. Dia mengatakan aparat penegak hukum tak mempunyai kewenangan melakukan penggerebekan.
"Kalau delik aduan, enggak bisa Satpol PP melakukan penggerebekan," ucap Eddy di acara Political Show CNNIndonesia TV, Senin (28/11/2022).
Tak ada pasal soal LGBT
Pemerintah dan DPR sepakat tidak mengkriminalisasi perbuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Dalam draf RKUHP sebanyak 624 pasal itu, tidak ada pasal yang mengatur mengenai LGBT.
"Undang-undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan," demikian bunyi Pasal 624.
Keinginan agar LGBT masuk sebagai bagian delik pidana sudah lama didengungkan. Sekelompok masyarakat meminta MK mengkriminalisasi LGBT. Perdebatan berjalan sengit hingga akhirnya MK angkat tangan dan menyerahkan proses kriminalisasi LGBT ke DPR.
"Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru," demikian pertimbangan MK.
(redaksi)