POJOKNEGERI.COM - Pemungutan suara pada Rabu 14 Februari 2024 menjadi pembuktian bagi lembaga survei yang melakukan jajak pendapat mengenai elektabilitas pasangan calon (paslon).
Pertanyaan demikian selalu relevan ketika kompetisi politik berlangsung, baik kompetisi politik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden secara terbuka.
Terdapat dua peluang: pertama percaya hasil survei karena lembaga survei menempatkan perolehan suara kandidatnya pada pososi teratas, kedua tidak percaya hasil survei lantaran lembaga survei selalu memosisikan perolehan suara kandidatnya pada posisi rendah.
“Permainan angka” hasil survei ibarat dua sisi koin, menyenangkan bagi yang unggul, menyedihkan bagi yang tidak diunggulkan.
Mengapa permainan? Alasannya lembaga survei tidak tunggal misinya.
Ada lembaga survei akademis, yang berusaha objektif, netral, tidak berpihak, dan tidak menjadi pemain politik.
Ada pula lembaga survei yang subjektif, berpihak, menjadi bagian dari pemain politik.
Masyarakat Indonesia mengenal lembaga survei belum lama, baru sejak 1997.
Pertama LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial).
Lembaga ini mengenalkan metode hitung cepat (quick count) Pemilu 1997 dan 1999.
Kedua LSI (Lembaga Survei Indonesia), yang mengenalkan tracking perilaku politik kandidat dan pemilih, serta hitung cepat.
Bagaimana menunjukkan lembaga survei netral dan tidak netral atau berpihak dan tidak berpihak pada kandidat?
Mari baca hasil penelitian Marcus Mietzner pada tulisan Political opinion polling in post-authoritarian Indonesia: Catalyst or obstacle to democratic consolidation?, yang diterbitkan jurnal JSTOR pada 2009.
Peneliti muda asal Australia pada saat itu, meriset perilaku politik di Indonesia mulai 1999, dan hasilnya menjadi disertasi.
Kini, Indonesianis itu berstatus Associate Professor di Australian National University.
Mietzner menggambarkan, lembaga survei sebagai lembaga baru yang tidak diperhitungkan oleh para elite politik, komisaris partai, dan masyarakat di Indonesia pada Pemilu 1997 dan 1999.
Survei dan hasil hitung cepat LP3ES diabaikan dan dibiarkan berlaku untuk dilupakan.
Publikasi-publikasi hasil survei maupun hitung cepat tidak berarti bagi dinamika politik dan fakta-fakta hasil riset yang mereka publikasikan sekadar sebagai informasi biasa, yang tidak terlalu penting.
Mengapa? Para politisi masih berpikir bahwa konstelasi politik dan keterpilihan anggota legislatif maupun presiden ditentukan oleh lobi-lobi atau negosiasi antar-elite politik.
Angka hasil pemilihan sebagai “bunga-bunga” proses penentuan siapa melaju ke Senayan (DPR).
Menjelang Pemilu 2004, perubahan sikap terhadap survei mulai terjadi.
Para elite mulai memperhitungkan lembaga survei dan produk kerja mereka.
Sejalan dengan penerimaan secara positif terhadap survei, maka tujuan lembaga survei mengalami dinamika.
Di satu sisi, lembaga survei memosisikan sebagai lembaga intelektual, akademik yang bertugas untuk mengukur elektabilitas calon, partai, dan membuat informasi ke publik tentang elemen-elemen pemilu.
Di sisi lain, lembaga survei menempatkan diri sebagai “pemain politik".
Mereka melakukan survei “berdasarkan kepentingan”, atau bahasa kesehariannya “survei berdasar pesanan” dari sponsor.
Para punggawa lembaga survei terlibat dalam manajemen pemenangan kandidat.
Survei demikian berpihak untuk memenangkan kandidat yang membayar jasa survei dan manajemen kampanye.
Monetisasi lembaga survei itu berkebalikan dengan profil mereka pada Pemilu 1997 dan 1999.
Saat itu, lembaga survei muncul karena penggeraknya didorong oleh rasa ingin tahu secara akademis dan kepentingan yang kuat untuk mencegah manipulasi pada pemilu pertama pasca-otoriter.
Mereka bisa melakukan misi ideal tersebut karena sponsor lembaga survei bukan dari partai atau kandidat legislatif, capres-cawapres, melainkan donor asing seperti USAID (The United States Agency for International Developmen), JICA (Japan International Cooperation Agency) dan lembaga serupa lainnya.
Ketika hasil survei dari lembaga itu diperhitungkan, diterima sebagai parameter dinamika politik, maka Pemilu 2004 menjadi tonggak berkembangnya varian lembaga survei menjadi dua kubu.
Pertama, lembaga survei ideal berbasis pada pengembangan intelektualitas (pengetahuan), distribusi informasi dinamika politik dan demokratisasi.
Kedua, lembaga survei komersial atau lembaga survei profesional.
Perkembangan dua bentuk lembaga survei itu, ditandai perpisahan dua kolega top manajer LSI, yaitu Saiful Mujani dan Denny JA. “Perpecahan” mereka dibarengi dengan berdirinya lembaga-lembaga baru survei sejenis.
Sebelum LSI terbentuk, Mujani bekerjasama dengan lembaga-lembaga akademik telah merintis survei perilaku pemilih.
Dalam waktu bersamaan, dia menjadi mahasiswa doktoral di Australia, dan momentum ini mempertemukannya dengan promotor Indonesianis terkenal, William Liddle.
Relasi intelektualitas mahasiswa, Saiful Mijani dan promotornya sekaligus peneliti senior William Liddle dari Ohio State University, membawa hoki.
Sang promotor bersama Mujani mendapat dana hibah riset tentang perilaku elektoral pemilih calon legislatif di Indonesia pada 1999, dari National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat.
Sejalan dengan aktivitas tersebut, Mujani mendirikan LSI pada Agustus 2003.
Denny JA yang juga bekerja pada ranah riset sejenis bersama politikus PDIP Herri Akhmadi, ikut digandeng untuk memperkuat lembaga tersebut.
Untuk kelangsungan proyek riset politik itu, Mujani mengajak sahabat asal Jepang, Takashi Shiraishi, melobi JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk memberikan hibah riset kepada LSI.
Dengan sokongan dana JICA, LSI mulai merilis hasil risetnya pada Oktober 2003 atau satu bulan sejak pendirian lembaga tersebut.
Ketika LSI eksis, produknya mendapat respons positif, dan para elite makin berminat terhadap jasa riset lembaga ini.
Denny JA mendorong LSI menjadi lembaga riset sekaligus pemain politik.
Lembaga ini perlu menjadi manajemen politik yang mengidentifikasi calon-calon potensi kuat dan mengadakan perjanjian kerja komersial dengan mereka.
Proyek perdananya survei dan manajemen kampanye SBY pada Pemilu 2004.
Langkah Denny “menyinggung” intelektualitas dan kapasitas Mujani.
Pada saat lembaga survei komersial bekerja maka filosofi survei bukan lagi medium akademik, objektif, tetapi sebaliknya survei sebagai proyek pemenangan kandidat atau survei harus berpihak, tidak netral lagi karena terdapat sponsor yang harus disukseskan, dimenangkan dalam kompetisi politik.
Sejak berkembangnya “survei berbayar” dan “pemain politik”, lembaga survei menjelma seperti “hakim tunggal” yang menentukan dinamika politik dan nasib para kompetitor politik.
Apakah lembaga “survei profesional” otomatis kredibel hasil surveinya dan kinerja manajemen politiknya handal?
Berkaca pada kasus Pemilu Amerika Serikat 2016, dengan kandidat presiden Donald Trump dan Hillary Clinton.
Jajak pendapat oleh 20 lembaga survei plus media televisi dan media lainnya melakukan 80 jajak pendapat sejak pertengahan September 2016.
Sekitar 18 lembaga riset mempublikasikan hasil risetnya, Hillary unggul dari Trump dalam jajak pendapat di seluruh negara bagian Amerika, dan dia hampir pasti menjadi suksesor Presiden Barack Obama.
Dua lembaga survei saja berbeda pendapat, yang mengunggulkan Donald Trump, yaitu Los Angeles Times dan partnernya USC Tracking.
Hasilnya Trump menang, sebaliknya Hillary kalah pada pemilihan presiden Amerika 2016.
Problem survei untuk jajak pendapat adalah tidak hadirnya dimensi-dimensi subjekvitas perilaku pemilih dan kandidat dalam elemen-elemen survei.
Para peneliti yang berbasis pada paradigma positivistik atau metode kuantitatif, plus surveinya berbayar dari kandidat, membuat fakta-fakta berbasis angka sebagai kemutlakan.
Ketika metode kuantitatif yang mereka terapkan dan dioperasikan mengabaikan human error, itu problem etika keilmuan.
Yang menjadi beban moral, survei model pesanan ini diperkuat dengan trik-trik “dirty vote” oleh tim sukses sebagai strategi pembenaran atas klaim-klaim keunggulan dari lembaga survei.
Sebaliknya praktisi riset kualitatif mencoba untuk menambal kelemahan dari riset kuantitatif dengan melakukan survei terhadap dimensi subjektif dari para responden atau informan seperti keterikatan pemilih dengan nilai-nilai agama dari kandidat, nilai-nilai persaudaraan, pertemanan, dan sejenisnya. Dimensi semacam itu oleh masyarakat dikategorikan “aspek hati nurani”.
Periset kualitatif memahami aspek kualitatif semacam hati nurani sebagai fakta sangat penting untuk dikonstruksi ke permukaan.
Mengapa? Seperti pepatah, dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu!
Kekuatan aspek yang tersembunyi oleh para peneliti kualitatif sangat esensial menjadi bagian dalam risetnya agar angka-angka tidak “dituhankan”.
Rabu, 14 Februari 2024, merupakan puncak tahapan pemilu, ketika para pemilih mencoblos calon-calon legislator, senat, dan presiden-wakil presiden.
Coblosan menjadi simbol pembuktian, apakah hati nurani atau survei berbayar yang menentukan hasil Pemilu 2024. (kompas.com)