POJOKNEGERI.COM - Usai beredarnya surat pemanggilan polisi kepada Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa - Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) Universitas Mulawarman (Unmul), Abdul Muhammad Rachim terkait postingan "Kaltim Berduka - Patung Istana Merdeka Datang ke Samarinda" langsung menuai beragam respon.
Salah satu respon datang dari Koalisi Kebebasan Berekspresi yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, para dosen fakultas hukum, Universitas Mulawarman dan para aktivis.
Melalui siaran daring, pada Rabu (10/11/2021) siang tadi, Fathul Huda dari LBH Samarinda menyayangkan langkah Korps Bhayangkara tersebut.
Sebab menurut Fathul, kebebasan atau postingan yang dilakukan teman-teman BEM-KM Unmul merupakan bagian dari kebebasan berpendapat.
Sebab, banyak implementasi dari kata patung tersebut. Dan harus dimaknai sebagai kebebasan berpendapat karena merupakan bentuk sebuah kritik.
"Pihak kepolisian segera menghentikan proses penyelidikan, atau menerbitkan surat perintah pemberhentian penyelidikan. Karena apa? Karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan basis-basis teorinya secara bahasa mereka juga saya yakin tidak memiliki. Mereka Hanya bermodalkan nekat dan mungkin ada sedikit unsur tekanan dari kekuasaan. Bisa saja begitu," beber Fathul.
Meski pihak kepolisian, yakni Satreskrim Polresta Samarinda akan terus melanjutkan penyelidikannya, dengan menjadwal ulang upaya pemanggilan kedua, Fathul pun dengan tegas mengatakan jika koalisi masyarakat sipil pro demokrasi akan terus memberikan dukungannya.
"Kepada BEM KM Unmul dan aktivis lainnya jangan pernah takut untuk selalu mengkritik kebijakan-kebijakan ataupun segala hal yg dilakukan pejabat publik ketika itu berjalan tidak semestinya. Kami sebagai bagian dari koalisi masyarakat sipil yang pro demokrasi akan selalu mensupport kawan-kawan yang senantiasa melakukan kritik kepada kekuasaan," tekannya.
Sementara itu, di kesempatan yang sama, Herdiansyah Hamzah alias Castro Dosen Fakultas Hukum, Unmul juga turut mengutarakan pendapatnya. Yakni penggunaan kata patung istana hanyalah bentuk narasi bersifat metafora.
"Kalimat patung istana datang ke Samarinda hanya sebuah istilah metafor. Itu sudah berulang kali kami sampaikan. Kalimat metafor itu tidak layak untuk diproses secara hukum," tegas Castro.
Bahkan menutur Castro jika aparat berwajib terus melakukan tindaklanjutnya dengan dasar memproses narasi bersifat metafora tersebut, maka setengah populasi penduduk Indonesia akan menjadi narapidana.
"Bayangkan kalau kalimat metafor itu dipidanakan, maka setengah penduduk indonesia pasti akan dikerangkeng di tahanan. Jadi bagi kami kalimat metafor seperti itu menggambarkan kecerdasan seseorang. Melarang atau melaporkan hal ini ke polisi, itu sama saja dengan pembungkaman dan mematikan kecerdasan seseorang," katanya.
(redaksi)