POJOKNEGERI.COM - Perjanjian Batu Tulis atau kontrak politik antara Ganjar Pranowo dengan PDI Perjuangan, menjadi isu yang kini dibicarakan banyak pihak.
Benarkah memang ada perjanjian Batu Tulis?
Istilah perjanjian Batu Tulis sendiri berasal dari nama lokasi tempat Ganjar Pranowo diusung sebagai bakal calon presiden pada Pilpres 2024.
Gubernur Jawa Tengah itu diumumkan sebagai capres oleh Ketua Umum PDIP Perjuangan, Megawati Soekarnoputri di Istana Batu Tulis, Bogor pada 21 April 2023.
Dilansir dari channel YouTube Tempodotco dalam program Cakap cakap, redaktur majalah Tempo, Raymundus Rikang menuturkan, berdasarkan hasil penelusuran pihaknya, terdapat kesempatan politik yang terjadi antara Ganjar Pranowo dengan PDIP di Istana Batu Tulis, Bogor.
Perjanjian tersebut memuat beberapa hal yang harus dipatuhi oleh Ganjar Pranowo jika nantinya terpilih menjadi presiden.
Perjanjian tersebut berisikan, agar Ganjar Pranowo menjalankan ajaran atau ideologi Bung Karno, PDIP berkah untuk atau bisa menentukan calon wakil presiden dan juga susunan kabinet.
Lalu, selanjutnya Ganjar diminta untuk tidak ikut campur tangan dalam suksesi kepemimpinan PDIP.
Raymundus menilai, akibat adanya perjanjian tersebut, Presiden Joko Widodo atau Jokowi, merasa kehilangan perannya sebagai salah satu pentolan PDIP, terlebih saat ini ia masih menjabat sebagai orang nomor 1 di republik ini.
"Perjanjian atau kesepakatan ini yang kemudian membuat Presiden Jokowi merasa kehilangan peran atau perannya semakin kecil," ungkap Raymundus.
Lanjut Raymundus menjelaskan, jika menarik ke belakang sebelum diumumkannya Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDIP, terdapat diskusi antara elite partai, yang tidak dihadiri Presiden Jokowi.
Pasalnya, Presiden Jokowi baru tiba di Istana Batu Tulis, beberapa jam sebelum nama Ganjar keluar sebagai capres PDIP.
"Pada malam di 20 April setelah buka puasa, ada semacam diskusi antara Ibu Mega, Ganjar, Mas Hasto sebagai sekjen dan Mas Nanda (Prananda Prabowo). Prosesnya ada di situ," jelasnya.
Dengan kata lain, baik Megawati maupun Presiden Jokowi sama-sama ingin mengambil peran penuh terkait penetapan capres dan cawapres.
Bahkan, keduanya dinilai tidak hanya ingin mengambil peran pada penentuan capres dan cawapres saja, melainkan juga ingin memiliki peran penuh pada saat sesudah Pilpres 2024.
"Mereka ingin terlibat atau mengambil peran penuh dalam penentuan capres dan cawapres, serta sesudahnya ketika nantinya pasangan yang dijagokan PDIP terpilih dalam Pemilu 2024," kata Raymundus.
Hal inilah yang disinyalir membuat Presiden Jokowi diduga mengubah arah dukungannya kepada Prabowo Subianto.
Raymundus pun tidak menampik hal itu, namun hingga saat ini Presiden Jokowi belum pernah sekali pun secara terang-terangannya mendukung Prabowo Subianto, begitu pula ke Ganjar Pranowo.
Namun, dukungan kepada Prabowo itu dapat dilihat dari sinyal, maupun simbol-simbol yang kerap dilontarkan, maupun ditunjukkan oleh Jokowi, beserta keluarganya.
"Jadi, pergeseran dukungan itu memang belum pernah dinyatakan secara terang-terangan, tetapi dalam penelusuran atau liputan, kami menemukan cerita bahwa ekspresi dukungan itu disampaikan dalam beberapa kesempatan, misalnya ketika presiden bertemu dengan pengurus PSI, di situ disampaikan bahwa 'ada kemungkinan saya mendukung Pak Prabowo', ketika kami konfirmasi kepada kepada Grace Natalie yang sekarang menjadi Wakil Ketua Dewan Pembina, Mbak Grace tidak membantah isi atau pesan arah dukungan itu," urainya.
Lalu simbolnya lainnya sempat membuat heboh yakni ketika anak pertama Presiden Jokowi, yang juga Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, bertemu dengan Prabowo Subianto dibarengi dengan deklarasi dukungan dari relawan Jokowi-Gibran se Jawa Timur dan Jawa Tengah kepada Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
"Nah, sinyal-sinya seperti ini yang menunjukkan bagaimana arah dukungan Jokowi sekarang," tuturnya.
(redaksi)