POJOKNEGERI.COM - Nama suku Bajo di Indonesia mendadak jadi perbincangan sesaat setelah penayangan film Avatar: The Way of Water.
Usut punya usut, ternyata suku Metkayina di film Avatar: The Way of Water, terinspirasi dari kehidupan suku Bajo di Indonesia.
Suku Metkayina dalam lanjutan film Avatar sendiri merupakan penghuni Pandora yang menguasai lautan.
Mereka hidup di pesisir laut Pandora yang memiliki panorama indah.
Hal itu diungkapkan langsung oleh sutradara Avatar: The Way of Water, James Cameron.
Disampaikan dalam wawancara bersama National Geographic, pernyataan Cameron ramai usai Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengunggahnya dalam akun Instagram pada Selasa (20/12/2022).
"Terdapat orang laut di Indonesia yang tinggal di rumah panggung dan hidup di atas rakit. Kami melihat hal-hal seperti itu," tutur Cameron, dikurip dari akun @kemenparekraf.ri, dilansir dari Kompas.com.
Dikutip dari Kemendikbud, suku Bajo erat kaitannya dengan laut dan kerap dijuluki sebagai pengembara laut.
Bahkan, masyarakat suku Bajo dulu hidup secara nomaden di atas perahu.
Bermodalkan perahu kuno tanpa peralatan modern sebagai penunjuk arah, suku Bajo mengandalkan rasi bintang untuk memandu perjalanan.
Namun begitu, kini suku Bajo hidup menetap di pesisir pantai atau di atas perairan laut dangkal.
Rumah mereka dipasangi tiang pancang agar terhindar dari gelombang pasang.
Sementara dinding rumah suku Bajo, berbahan dasar kayu dengan atap dari rumbia.
Suku Bajo tersebar di berbagai daerah, termasuk Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan wilayah timur lain.
Bukan hanya di Indonesia, suku Bajo juga tersebar di lautan Malaysia, Filipina, serta Thailand.
Menurut sejarahnya, seperti dilansir laman indonesia.go.id, suku ini berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan.
Tinggal nomaden di lautan lepas membuat suku Bajo masuk ke wilayah Indonesia.
Kendati begitu, asal-usul suku Bajo masih belum diketahui secara pasti.
Adapun selain Bajo, pengembara laut ini juga memiliki sejumlah sebutan lain, seperti Bajau, Badjaw, Sama, atau Same.
Kegiatan sehari-hari masyarakat suku Bajo didukung dengan transportasi air berupa perahu.
Biasanya, perahu-perahu akan terparkir di pelataran rumah mereka.
Tak hanya transportasi, perahu turut menjadi alat untuk mencari nafkah lantaran mayoritas penduduk berprofesi sebagai nelayan.
Mereka mencari ikan dengan cara-cara tradisional, seperti memancing menggunakan kail, menjaring, dan memanah.
Hasil tangkapan akan dijual kepada masyarakat di sekitar pesisir atau pulau terdekat.
Selain mencari ikan, sebagian masyarakat suku Bajo juga telah belajar budidaya beberapa komoditas bahari, seperti lobster, ikan kerapu, atau udang.
Identik dengan laut, kemampuan menyelam suku Bajo tak perlu diragukan.
Masyarakat suku ini diketahui mampu menyelam hingga kedalaman 70 meter hanya dengan sekali tarikan napas.
Mereka juga tak memerlukan baju khusus maupun alat bantu pernapasan saat menyelam.
Hanya dengan kacamata renang dari kayu yang membantu mencegah air masuk ke mata.
Keahlian dalam mengarungi laut ini pun membuat banyak ilmuwan dunia tertarik untuk meneliti suku Bajo.
Salah satunya, sekelompok ilmuwan dari University of Copenhagen dan University of California yang mencoba menguak misteri asal-usul kehebatan Suku Bajo.
Hasil penelitian menunjukkan, organ limpa dari orang-orang suku Baju ternyata 50 persen lebih besar daripada manusia pada umumnya.
Ukuran limpa di atas normal itu berpengaruh terhadap produksi oksigen dalam darah suku Bajo yang lebih jauh lebih banyak.
Para peneliti juga menyebutkan, keahlian orang Bajo merupakan bentuk terjadinya mutasi gen akibat seleksi alam.
Diketahui, hampir seluruh orang Bajo terlahir dengan perbedaan gen tersebut.
(redaksi)