POJOKNEGERI.COM - Fenomena El Nino saat ini tengah memasuki wilayah Indonesia, namun hujan diprediksi tetap akan turun.
El Nino sendiri menyebabkan curah hujan turun dan musim kemarau yang kering, dimulai pada Februari.
"Maret mayoritas hijau; curah hujan tinggi...April mayoritas hijau," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.
Dwikorita mengatakan, beberapa wilayah di Indonesia sebetulnya sudah memasuki musim kemarau pada Februari.
Hal tersebut ditandai dengan menurunnya curah hujan di beberapa wilayah.
Dwikorita mencontohkan di wilayah Riau, Sumatra Utara, dan Jambi.
Di wilayah-wilayah tersebut, curah hujan bulanan mulai menurun pada Februari.
"Perlu dicermati yang berwarna coklat-coklat mulai muncul di bulan Februari di Riau, Sumatra Utara dan Jambi. Ini merupakan indikasi bahwa curah hujan bulanan menurun artinya rendah. Itu bisa dianggap sebagai kemarau," kata dia.
Pada Januari, curah hujan masih relatif tinggi.
Deputi Bidang Meteorologi BKMG, Guswanto dikutip dari Antara, Sabtu (28/1), menuturkan ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Pertama, Osilasi Madden-Julian (MJO) yang diprediksi mulai aktif kembali di wilayah barat Indonesia.
Kedua, Monsun Asia dan aliran lintas ekuator. Ketiga, perlambatan angin dan belokan angin di sekitar wilayah Indonesia.
Keempat, bibit siklon tropis 94S di Samudera Hindia sebelah barat daya Lampung dengan kecepatan angin maksimum 37 kilometer per jam dan tekanan udara minimum 1.005 milibar.
Kelima, bibit siklon tropis 90B yang berada di Samudera Hindia sebelah barat Aceh dengan kecepatan angin maksimum 37 kilometer per jam dan tekanan udara minimum 1.006 milibar.
Potensi kedua bibit siklon tropis tersebut untuk tumbuh menjadi siklon tropis dalam 24 jam ke depan berada dalam kategori rendah.
"Kondisi tersebut dapat berkontribusi meningkatkan pertumbuhan awan hujan dan potensi cuaca signifikan dalam sepekan ke depan," ungkap Guswanto.
Hal itu berdampak kepada hujan lebat pada periode 28-30 Januari 2023 di sebagian wilayah Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
Fenomena El Nino merupakan kebalikan dari La Nina, yang membuat musim kemarau menjadi basah.
"Dengan adanya prediksi ini El Nino itu aliran massa udara basah dari Indonesia berbalik ke Samudera Pasifik. Jadi yang Indonesia menjadi kering karena aliran massa udara ini bergerak ke Samudra Pasifik jadi ini lawan dari La Nina," katanya.
Musim kemarau kering disertai curah hujan rendah akan terjadi berbeda-beda di wilayah Indonesia.
Di wilayah Jawa Timur (Jatim), musim kemarau kering akan mulai terjadi pada bulan Mei dengan curah hujan rendah kurang dari 100 mm per bulan.
"Jatim merata pada bulan Mei. Ini curah hujan rendah kurang 100 mm per bulan," ucap Dwikorita.
Dia juga mengatakan beberapa wilayah Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menghadapi fase transisi pada Maret-Mei.
"Yang harus diwaspadai biasanya fenomena cuaca ekstrem yang sering muncul, angin kencang angin puting beliung dan bisa jadi hujan lebat meskipun singkat," urai dia.
Pada Juni, BMKG memperkirakan penurunan curah hujan terjadi di Maluku bagian utara serta Papua bagian tengah dan selatan.
Pada saat yang sama, katanya, penurunan curah hujan di Jawa dan Sumatera semakin meluas.
"Juni-Juli semakin merona oranye-coklat, artinya curah hujan semakin rendah dan semakin luas," jelas Dwikorita.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan memperkirakan El Nino yang terbilang lemah akan melanda setidaknya hingga Agustus.
Ia pun memprediksi kekeringan tuntas pada Oktober.
"Peluang 50 persen untuk mengalami El Nino lemah itu pada periode Juni, Juli, Agustus. Dampak kekeringan, ya," ujar dia, dalam konferensi pers yang sama.
"Ini curah hujan berkurang, kita harus mengantisipasi kekeringan tapi inshallah engga panjang, Oktober semoga sudah selesai," tandas dia.
(redaksi)