POJOKNEGERI.COM - Kakao adalah satu dari lima komoditas unggulan perkebunan Kalimantan Timur. Pemerintah Provinsi telah menetapkan kakao, karet, lada, kelapa dalam, dan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan yang akan menjadi sumber ekonomi terbarukan.
Khusus kakao, komoditas perkebunan ini mulai terlihat gaungnya, terutama kakao dari Berau. Sejumlah kampung mulai melirik tanaman kakao mereka yang hampir satu dekade diabaikan.
“Pada hari ini, kita bisa menjadi saksi bahwa Kakao Merasa, ternyata diminati hingga luar negara. Semoga ekspor perdana ini bisa menjadi awal yang baik untuk pembangunan ekonomi hijau di Berau,” ujar Bupati Berau Sri Juniarsih dalam sambutan acara ekspor perdana kakao dari Merasa ke Jerman, di Kampung Merasa, Juni lalu.
Sebanyak 200 kilogram kakao fermentasi dari Kampung Merasa akan dikirim ke perusahaan cokelat di Jerman, yakni URWALD SCHOKOLADE, melalui Surabaya. Ekspor ini menjadi salah satu jerih pendampingan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) di enam kampung di Berau. Keenamnya adalah Long Lanuk, Merasa, Muara Lesan, Lesan Dayak, Long Beliu, dan Sidobangen.
YKAN mendampingi keenam kampung di Kecamatan Kelay dan Kecamatan Sambaliung ini dengan pertimbangan bahwa rata-rata sudah memiliki tanaman kakao yang tidak terurus.
“Ditambah lagi, kampung-kampung ini berada dalam satu koridor kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan,” kata Manajer Hubungan Pemerintahan YKAN untuk Berau Gunawan Wibisono.
Pendampingan terhadap perkebunan kakao diharapkan menurunkan tekanan atas Hutan Lindung Sungai Lesan, salah satu rumah bagi orang utan liar di Kalimantan Timur.
Simbiosis antara masyarakat Merasa dan Hutan Lindung Sungai Lesan adalah bukti bahwa dengan menjaga hutan, juga bisa menghidupi masyarakat.
Kakao dari Merasa ini pun memiliki cita rasa khas yang mengantarnya masuk dalam delapan besar biji kakao Indonesian National Cocoa of Excellence 2021 dari 58 biji kakao se-Indonesia; dan saat ini sedang bertanding di Cocoa of Excellence 2021 di Paris, Prancis, serta menunggu hasilnya keluar.
Perjalanan kakao di Merasa diawali pada awal 2020, ketika para petani mulai menyadari bahwa tanaman itu bisa memberikan penghasilan tambahan. Petani di kampung Merasa adalah petani ladang dan beternak lebah madu. Sebelumnya warga Merasa menanam kakao tanpa mengetahui nilai jual, teknik perawatan, hingga peremajaannya. Tanaman kakao dibiarkan tumbuh liar dan tanpa proses pemupukan.
Pasar global sendiri mencatat permintaan kakao yang cenderung meningkat. Fortune Bisnis Inisght menyebutkan bahwa pasar cokelat dan kakao global bernilai USD 44,35 miliar pada 2019 dan diproyeksikan mencapai USD 61,34 miliar pada tahun 2027. Adapun di Kabupaten Berau sendiri, angka produksi kakao meningkat perlahan, mulai dari 600 kg/ha pada tahun 2018, kini—setelah dua tahun berselang—menjadi 750 kg/ha. Luasan kebunnya pun turut bertambah, hingga mencapai 3.200 hektare di 2021.
Harga jual kakao dari Berau juga mendapat respon baik dari pasar lokal. Harga biji kakao saat ini di kisaran Rp 22-26 ribu per kilogramnya. Apabila petani mau memfermentasi kakaonya, bisa mendapatkan pendapatan hingga Rp 35 ribu per kilogram. “Kami juga sudah berhubungan dengan koperasi di Bali yang siap menerima berapa pun kakao fermentasi yang dihasilkan dari Bali ini,” ujar Spesialis Pendampingan Komoditas YKAN Lukmansyah.
Saat ini sudah dua kampung yang memutuskan menjual biji kakao fermentasi, yaitu dari Kampung Merasa dan Kampung Long Lanuk. Fermentasi Kakao membutuhkan waktu setidaknya seminggu dengan sejumlah perlakuan seperti pengaturan suhu dan pengadukan.
Proses yang lebih rumit ketimbang kakao biasa inilah yang menjadikan harganya lebih mahal, apalagi cita rasa dan aroma yang dikeluarkan dari kakao fermentasi juga berbeda.
Melihat harga dan permintaan kakao fermentasi yang cenderung stabil, warga kampung menilai perlu memiliki alat yang memadai.
Atas kesadaran tersebut, warga Kampung Merasa membangun pengering bersumber energi matahari (solar dryer) secara swadaya untuk membantu proses fermentasi. Petani Kakao Kampung Merasa bersama dengan petani dari lima kampung lainnya juga berhimpun untuk mendirikan kelompok pengawas mutu kakao.
“Anggota kelompok akan memastikan, biji yang dihasilkan petani layak jual atau tidak, dan apakah perlu perbaikan atau perlakukan tambahan lagi,” ujar Lukmansyah.
Hal ini merupakan suatu kemajuan pesat dari petani kakao yang awalnya tidak mempedulikan tanaman kakao, hingga akhirnya kini berorganisasi dan berinovasi.
“Kakao ini adalah komoditas yang potensial, pasar sudah terbuka, tinggal kita bersama yang mendukung kakao Berau go internasional,” kata Gunawan.
(redaksi)