POJOKNEGERI.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan keputusan final terkait sengketa hasil Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur (Pilgub Kaltim), pada Rabu (5/2).
Dalam sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK perkara dengan nomor registrasi 262/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang diajukan oleh pasangan calon (paslon) nomor urut 01, Isran Noor–Hadi Mulyadi, dinyatakan tidak berlanjut ke tahap pembuktian.
Hal tersebut disampaikan Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan Nomor 262/PHPU.GUB-XXIII/2025. Keputusan ini menegaskan bahwa hasil Pilgub Kaltim tetap sah dan mengukuhkan kemenangan paslon nomor urut 02, Rudy Mas’ud-Seno Aji.
“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Suhartoyo didampingi delapan hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, dikutip Kamis (6/2).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan beberapa dalil yang diajukan oleh kubu Isran-Hadi tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Salah satu dalil yang ditolak adalah tuduhan terkait adanya politik borong partai yang dilakukan oleh pasangan calon Rudy Masúd dan Seno Aji yang dianggap tidak berdasarkan.
“Berdasarkan fakta hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat politik borong partai koalisi sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian, permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum,” ujar Arief Hidayat.
Disusul soal money politik adanya kegiatan “siraman” yang dihimpun pihak Isran–Hadi dalam buku tebal juga dijelaskan dalam sidang dismissal.
Bahwasanya, hal tersebut telah dilakukan pemeriksaan oleh pihak pemberi keterangan yakni Bawaslu Kaltim.
Politik uang yang didalilkan dan diduga pihak Isran–Hadi terjadi sangat terstruktur, sistematis dan masif (TSM) di sejumlah daerah saat kontestasi berlangsung juga dianggap tidak berkedudukan hukum.
“Terdapat fakta hukum yang terungkap dalam persidangan siraman yang dilakukan pihak terkait Rudy–Seno sudah diklarifikasi oleh Bawaslu Kaltim dan Gakkumdu, semua pihak dipanggil namun pelapor tidak mengetahui terkait laporan siraman terkait, sehingga pihak Gakkumdu memberi penilaian bahwa tidak cukup bukti sebagai pelanggaran pemilihan,” tegas Arief Hidayat.
Andai politik uang terbukti, lanjut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK berpendapat juga dipastikan tidak berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara paslon 01 atau pemohon.
Tetapi MK tidak meyakini kebenaran dalil pemohon, untuk itu dianggap tidak beralasan menurut hukum.
“MK juga berpendapat terhadap permohonan a quo tidak terdapat alasan menunda keberlakuan Pasal 158 undang–undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai kedudukan hukum pemohon,” sambung Arief Hidayat.
(*)