POJOKNEGERI.COM - Gak tau deh, apakah ini skema cocok-cocokan, tapi sepertinya tersirat. Konflik Rusia dengan Ukraina, merembet kemana-mana.
Bahkan sampai pada ajakan Amerika Serikat (AS) kepada negara-negara Eropa untuk memboikot G20, dimana Indonesia menjadi tuan rumah. Rencananya pertemuan G20 tersebut dilangsungkan tahun ini.
Indonesia sendiri yang menerapkan politik bebas aktif, boleh mengimbangi ancaman AS tersebut.
Logikanya, masa iya mereka (Rusia, Ukraina, NATO-AS) yang perang kok Indonesia harus ikut bertanggungjawab, harus mengakui peperangan tersebut, ya gak lah….!
Indonesia punya sejarah sebagai negara non-blok. Meski diakui bahwa kedua negara (Rusia dan AS) masih sangat memengaruhi ekonomi Indonesia.
Namun dalam konteks sikap politik luar negeri, Indonesia bebas aktif.
Yang terbaru adalah, laporan pelanggaran HAM yang dirilis Kemenlu AS.
Setidaknya ada dua (2) poin yang menjadi sorotan di Indonesia, yakni penggunaan aplikasi pedulilindungi yang mencantumkan kartu vaksin.
Padahal kalau mau ditilik ke belakang, aplikasi pedulilindungi ini bekerjasama dengan geng silicon valley, perusahaan google. Dimana pedulilingdungi menggunakan tracking ketika kita mengaktifkan googlemap.
Artinya apa, berarti semua data pergerakan masyarakat Indonesia yang menggunakan aplikasi tersebut terdeteksi oleh google dan bisa dipastikan data tersebut masuk ke AS.
Anehnya, kok AS malah menganggapnya pencantuman kartu vaksin sebagai pelanggaran HAM, sementara negara tersebut secara tidak langsung sudah mengakses semua data pergerakan tadi, termasuk nomor induk kependudukan.
Pertanyaannya kemudian, apakah itu bukan pelanggaran HAM yang dilakukan negara tersebut?
Paling tidak mengenai aplikasi pedulilindungi ini, kita terjebak pada dua hal, pertama adalah apakah termasuk pencurian data, atau bahkan pembocoran data, saya tidak ingin masuk lebih jauh, sebab butuh analisis yang begitu dalam. Hanya, paling tidak pertanyaan itu menjadi klue.
Kondisi tersebut sebenarnya tidak bisa dihindari, sebab Indonesia sendiri belum terlalu serius memikirkan pembangunan infrastruktur internet.
Ditambah lagi, belum adanya regulasi yang tegas mengenai kedaulatan cyber kita. Ini ibarat dimensi “mata-mata” dengan kemajuan teknologi, data apapun bisa bocor, dibocorkan, bahkan dijual.
Kemudian, laporan HAM selanjutnya mengenai pembubaran Front Pembela Islam (FPI) termasuk di dalamnya kasus penembakan laskar FPI di tol KM 50.
Jika memang demikian adanya, apa yang selama ini diperkirakan, bahwa AS mendompleng kelompok-kelompok garis keras dan sudah sering didiskusikan bisa jadi ada benarnya.
Tapi AS tidak pernah melihat pelanggaran HAM yang mereka lakukan melalui operasi-operasi intelijen, dan hal ini sudah banyak kasus di berbagai belahan dunia.
Yang paling menonjol adalah Arab Spring khususnya pembentukan ISIS yang pernah diakui oleh Hillary Clinton saat menjabat Menlu di ere Obama.
Operasi AS mendanai kelompok-kelompok ultra-fundamentalis bukan barang baru. AS ini seperti negara yang selalu menciptakan musuh-musuh untuk menjaga eksistensi “super power-nya” di mata dunia.
Dulu, awal sekali, AS mencoba mengobok-obok Mesir untuk dijadikan “pilot project” sebuah negara Islam. Namun usaha mereka gagal, lantaran militer Mesir melakukan kudeta. Kemudian, tentu kita masih ingat bagaimana Irak diporak-porandakan, dan setelah Saddam Husein jatuh, AS membiayai pelaksanaan Pemilu di Irak, sayangnya, sekali lagi, jagoan capres yang dipersiapkan AS, kalah telak.
Kekalahan itu pada akhirnya membuat AS mendesain proksi baru, yakni dengan membentuk ISIS agar terjadi perang sekte/aliran di Irak.Targetnya apalagi kalau bukan untuk menguasai minyak di Irak. Sepertinya AS belum rela melepas.
Setelah menciptakan ISIS, setelah tak berfungsi, ISIS kini dicap sebagai organisasi teroris dunia. Yang tak kalah penting bagaimana Taliban yang dulu dipergunakan AS untuk menghadapi gempuran Soviet. Setelah Soviet runtuh, Taliban kini kembali distempel sebagai organisasi teroris dunia.
Kemudian di Suriah, bagaimana Presiden Suriah Bashar al-Assad yang negaranya diporak-poranda oleh kelompok ultra fundamentalis yang diduga didanai AS dengan menghembuskan isu bahwa Bashar adalah Syiah.
Belakangan justru Bashar kembali terpilih sebagai Presiden Suriah. Ini menjadi bukti bahwa apa yang dituduhkan kepada Bashar tidak terbukti.
Dalam upaya kudeta Bashar, mereka gagal, tapi memorak-porandakan Suriah mereka berhasil. Kini Bashar harus terus berjibaku memperbaiki kembali negaranya.
Dan yang tak pernah hilang adalah sikap AS yang mendukung Israel atas pendudukan di Palestina. Anehnya di Indonesia organisasi seperti HTI, FPI bahkan PKS misalnya tidak pernah mengkritik sikap AS tersebut, padahal organisasi-organisasi tersebut mengklaimkan dirinya sebagai Islam.
Apa yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah tersebut memiliki kemiripan pola dengan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir, khususnya pasca-reformasi 1998. Demokrasi menjadi alasan untuk kebablasan menyampaikan aspirasi/pendapat.
Sudah sangat jelas sekali dari sisi ideologi organisasi seperti HTI dan FPI bertentangan dengan undang-undang (UU), dimana dua organisasi tersebut ingin tidak menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi.
Dari uraian di atas, memang AS selalu menggunakan isu “Islam” sebagai proksi.
Sekadar mengingatkan
Setelah jatuhnya Tembok Berlin yang menyatukan Jerman Barat dan Jerman Timur, menjadi penanda berakhirnya perang dingin antara Uni Soviet dan AS. Alih-alih berdamai, justru Barat menganggap Islam sebagai musuh. Semenjak itu, banyak negara-negara Muslim menjadi target AS dan sekutunya.
Orang-orang Muslim selalu dipropagandakan oleh banyak media Barat sebagai kelompok yang berideologi radikal dan menjadi ancaman dunia. Padahal AS dan sekutunya yang mendesain kelompok-kelompok ultra-fundamentalis untuk mencitrakan Islam adalah radikal.
Islamfobia kala itu berhasil menjadi “isu besar” dan kian menguat ketika marak bermunculan partai-partai politik berhaluan kanan di Eropa.
Pada kesempatan ini, saya ingin kembali mengutip pernyataan seorang kolomnis senior, Melanie Phillips, yang dulu kerap mengkritik tentang Islam radikal. Dalam sebuah artikelnya yang dimuat The Times, ia secara gamblang memperingatkan Barat untuk tidak menutup mata atas China.
Sejak Uni Soviet runtuh, memang Barat membutuhkan musuh-musuh pengganti. Jika mengacu pada pandangan Phillips tadi, maka sebenarnya China menjadi penantang kedua setelah Islam. China harus dianggap menjadi ancaman jangka panjang paling kuat bagi Barat.
Tapi sekarang AS dan sekutunya kembali terkaget-kaget setelah Rusia kembali unjuk gigi melalui konflik Ukraina. Dan lagi-lagi, AS diduga menggunakan skema yang sama, yakni melibatkan milisi-milisi yang pernah dibentuknya, antara lain ISIS dan al-Qaeda yang bermarkas di Suriah.
Para milisi yang dikirim ke Ukraina tersebut berasal dari Idlib, yaitu kelompok Hay’at Tahrir al-Syam (HTS), yang disebut-sebut lebih dulu tiba di Ukraina. HTS sendiri oleh PBB masuk list sebagai organisasi teroris. HTN adalah perubahan bentuk dari Jabhah al-Nusra (JN) yang masih “berhubungan darah” dengan al-Qaeda.
Sinyalemen melibatkan tentara bayaran-milisi jaringan organisasi teroris di perang Ukraina, sudah jauh-jauh hari dikemukakan oleh Menlu Suriah, Bashar Jaafari. Ia sudah memperingatkan hal ini. Lantaran Suriah lama mengetahui rencana AS akan mengirim para tentara bayaran ke kawasan konflik lainnya seperti yang terjadi di Afghanistan.
Indonesia pernah bikin sewot AS
Dalam forum sidang PBB, AS pernah dibikin sewot oleh Indonesia. Ketika itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang bukan anggota Dewan Keamanan (DK) PBB yang ditunjuk sebagai Presiden DK PBB, jika tidak salah pada Agustus 2020.
Langkah strategis kali pertama Indonesia waktu itu adalah menolak permintaan AS untuk mengembalikan semua sanksi atas Iran. Terang saja, penolakan dari Indonesia tersebut bikin AS kesal.
Kemudian, aksi selanjutnya ketika AS memveto rancangan dari resolusi yang digagas Indonesia mengenai penuntutan, rehabilitasi dan reintegrasi (PRR) teroris. Dalam rancangan itu Indonesia bermaksud untuk dijadikan panduan kepada negara-negara anggota untuk mengembangkan, melaksanakan PRR secara komperehensif.
Maksudnya, perlu strategi matang dalam penuntutan, elemen rehabilitasi dan reintegrasi dengan metode jangka panjang, khususnya untuk melawan ekstremisme dan terorisme.
Rancangan resolusi yang diajukan itu diveto oleh AS, dengan alasan resolusi yang ditawarkan Indonesia tersebut tidak memuat klausul atau pasal tentang pemulangan tawanan ISIS ke negara asal yang disampaikan langsung utusan AS untuk PBB.
AS berargurmen karena anggota ISIS yang ada di kamp-kamp penahanan di kawasan Suriah, kondisinya sangat buruk. Ini sangat berbeda dengan sikap AS terhadap tahanan di kamp Guantanamo. Anehnya lagi, AS meminta negara-negara asal yang warganya tercatat sebagai anggota ISIS diminta menjemput langsung.
Ya begitulah AS, menuduh negara-negara lain melanggar HAM, tapi lupa atau pura-pura lupa atas pelanggaran HAM yang mereka lakukan.
Buat saya, isu pelanggaran HAM yang ditujukan ke Indonesia, hmm…sepertinya proksi.
Apalagi rencana pemboikotan AS terhadap pelaksanaan G20 apabila Vladimir Putin hadir, hanya direspon santai oleh pemerintah Indonesia, dengan jawaban, G20 adalah urusan ekonomi, bukan politik.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)