POJOKNEGERI.COM - Penyakit Tuberculosis (TBC) kembali menjadi urgensi lantaran data Global TBC Report (WHO, 2022) mencatat bahwa kasus TBC di Indonesia menduduki peringkat ke-2 di dunia setelah India.
Data ini menunjukkan bahwa kasus penyakit menular ini terus meningkat.
Bahkan menurut Global TBC Report (WHO, 2023), di tahun 2024, estimasi kasus TBC yang harus ditemukan di Indonesia mencapai 1.060.000 kasus, sehingga menjadikan TBC sebagai masalah prioritas nasional setelah stunting.
Dilansir dari laman Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur (BPS Kaltim), tercatat perjalanan kasus TBC selama beberapa tahun terakhir di Kota Samarinda.
Pada tahun 2019 tercatat sebanyak 1.538 kasus TBC di Samarinda. Angka ini mengalami penurunan di tahun 2020 dengan jumlah kasus menjadi 796.
Namun pada tahun 2021, TBC di Samarinda mencapai 1.945 kasus.
Jumlah penderita TBC di Samarinda kembali meningkat pada tahun 2022 menjadi 2.167 kasus.
Tak sampai di situ saja, sepanjang tahun 2023 ini ditemukan sebanyak 4.119 kasus TBC di Kota Samarinda.
Meskipun mengalami penurunan pada tahun 2020, angka kasus TBC di kota Tepian ini kembali meningkat pada tahun 2021. Kemudian disusul lonjakan sepanjang tahun 2022 - 2023.
Pemerintah Kota Samarinda, melalui Dinas Kesehatan (Dinkes), menyikapi hal ini dengan serius. Selajutnya, Dinkes Samarinda akan menggencarkan kolaborasi dengan berbagai stakeholder untuk mengatasi masalah ini.
Program TB Dinkes Samarinda menyediakan sarana diagnosis dan obat anti-TBC yang mudah diakses oleh masyarakat dan akan diberikan secara gratis. Hal ini disampaikan oleh Pengelola Program TB Dinkes Samarinda, Baharudin.
"Kami berupaya dalam penyediaan sarana diagnosis dan obat anti TBC yang mudah diakses masyarakat secara gratis," ungkapnya baru-baru ini.
Ia menjelaskan bahwa penanggulangan ribuan kasus TBC melibatkan kegiatan investigasi kontak pasien, termasuk melakukan skrining pada populasi khusus seperti lapas, pesantren, tempat kerja, hingga wilayah padat penduduk.
Salah satu hambatan yang dihadapi adalah stigma masyarakat terhadap penyakit TBC.
Stigma ini dapat membuat penderita enggan meneruskan pengobatan karena takut dihakimi, merasa malu, atau bersalah terhadap diri sendiri.
“Pada banyaknya kasus, saat pengidap melanjutkan pengobatan diiringi dengan adanya stigma, mereka menjadi enggan meneruskan. Padahal penanganannya harus sampai tuntas,” ungkap Baharudin.
Hal ini tentu sangat berdampak pada meningkatnya angka TBC di Samarinda.
Baharudin mendorong seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan perhatian dan mengesampingkan stigma terkait TBC. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, media massa, LSM, dan masyarakat diharapkan dapat menanggulangi kasus TBC di Samarinda.
“Semua pihak, baik itu pemerintah, swasta, akademisi, media massa, serta LSM dan masyarakat harus berkolaborasi dalam menanggulangi kasus TBC di Samarinda," pungkasnya.
(Adv/Saber)