POJOKNEGERI.COM - Sekelompok masyarakat yang membentuk diri sebagai Aliansi Kotak Kosong melayangkan protes keras hingga mengancam melakukan aksi demo kepada Bawaslu Samarinda, Senin (28/10/2024). Somasi dan protes keras itu dilakukan sebagai bentuk protes mereka karena tak terima alat peraga kampanye mereka dicopot yang diduga dilakukan oleh Satpol-PP atas inisiasi Bawaslu Samarinda.
Dijelaskan Niko Hendra selaku Ketua Aliansi Kotak Kosong kalau pihaknya menuntut kejelasan dari Bawaslu Samarinda.
"Dalam waktu 2x24 jam kami meminta pertanggungjawaban tindakan mau pun ucapannya. Kalau memang kami melanggar hukum tolong jelaskan pelanggaran mana yang kami sudah lakukan," jelas Niko saat menggelar konferensi pers di ruang Sekretariat Aliansi Kotak Kosong, Jalan Bhayangkara, Samarinda Kota, sore tadi.
Lanjut Niko, pemasangan spanduk yang dilakukan Aliansi Kotak Kosong dibeberapa ruas jalan disebut tak melanggar aturan. Sebab sebelum memasang, masyarakat lebih dulu melakukan audiensi dan mediasi kepada KPU Samarinda.
"Itu sah-sah saja, secara aturan hukum. Poin utamanya disitu. Oleh karena itu kami meminta dan kami mensomasi Bawaslu Samarinda, dan kami meminta agar dalam jangka waktu 2x24 jam mereka harus bisa mempertanggungjawabkan," kata Niko.
"Karena ini adalah bantuan ataupun iuran secara individu yang sudah kami kumpulkan, oleh karena itu kami menilai adanya kerugian material alat peraga itu. Dan kami meminta penjelasan bagaimana posisi dan seperti apa kami menghadapi kampanye ini. Di wilayah mana kami bisa berkampanye menurut aturan bawaslu. Kalau itu pelanggaran dan ada tendensi seperti apa tolong dijelaskan," kata Niko lagi.
Dalam kegiatan itu, Eko Abdullah selaku Sekretaris Aliansi Kotak Kosong turut menambahkan meski pihak mereka tidak tercatat secara resmi di KPU Samarinda, namun penyampaian aspirasi dalam bentuk spanduk tidak dilarang.
"Secara resmi kami tidak mendaftar, karena pun kalau kami ingin mendaftar ingin menjadi apa. Tapi aspirasi kami secara aturan itu jelas. Jadi tidak perlu laporan karena juga secara aturan pemerintah sudah menyediakan jalur aspirasi untuk masyarakat," tekan Eko.
Lanjut Eko, jika Bawaslu Samarinda tidak merespon tuntutan mereka. Maka dalam jangka waktu 2x24 jam pihaknya akan melakukan upaya hukum.
"Kita akan membuat laporan hukum. Kita juga akan menggerakan masa untuk aksi demo di Bawaslu Samarinda," tekannya.
Selain Eko, Imron Ketua Komisi Mobilisasi dan Penggalangan Masa Aliansi Kotak Kosong juga turut menimpali. Yakni dia mempertanyakan muatan tendensius yang disebut Bawaslu Samarinda.
"Kalau berbicara isi muatan itu memang benar, karena Kotak Kosong ini pasti adil, dia pasti tidak korupsi. Paham maksud saya?
Justru kami bikin begini, agar masyarakat bisa menilai ada yang tidak etis. Sehingga kami memuat itu. Karena di Samarinda ini kita mengejar demokrasi," terang Imron.
Demokrasi yang dimaksud Imron dan kawan-kawan Aliansi Kotak Kosong ialah helatan Pilkada 2024 yang seharusnya menghadirkan lebih dari satu pasangan calon kandidat kepala daerah.
"Karena seumur saya, baru tahun ini pilkada cuman satu calon. Saya sudah 60 tahun. Kalau kita ambil contoh, dulu zaman bupati Syaukani di Kukar, dia tidak ada lawan. Kemudian dia ambil dan pasang orang sehingga terjadilah demokrasi. Seharusnya KPU atau Bawaslu bersyukur sama kita karena kita sosialisasikan cara memilih," beber Imron.
Sementara jika berbicara kerugian, Imron mengaku kalau hal tersebut ditaksir mencapai Rp 3 juta.
"Kalau berbicara kerugian berapa biaya itu, kita ini patungan bahkan sampai ada yang kelahi sama bini ada yang bekelahi sama laki. Itu kita kumpulan 1 orang Rp 200 ribu selama 1 bulan. Yang sempat kita bikin 100 spanduk dengan dana terkumpul 3 jutaan," urainya.
Sementara itu, Komisioner Bawaslu Samarinda, Imam Sutanto yang turut dikonfirmasi menyebut kalau pihaknya sejatinya tak menyoal pemasangan alat peraga kampanye dari Aliansi Kotak Kosong.
"Bawaslu bukan lembaga yang bertangungjawab atas pencopotan. Pertama bawaslu tidak melepas, kalo ada mengklaim, itu tidak benar," jelas Imam.
Jika penertiban sejatinya dilakukan pihak Satpol-PP karena memang menjadi ranah kewenangan mereka.
"Mungkin karena ada laporan masyarakat, ada spanduk yang enggak izin, masa urusan Bawaslu juga," tandasnya.
(tim redaksi)