POJOKNEGERI.COM, SAMARINDA - Gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 sebentar lagi akan diselenggarakan.
Hal ini tak terkecuali di Kalimantan Timur. Menyongsong Pilkada Kaltim 2024, aktivis dan akademisi menggelar Ngobrol Pilkada alias NgoPi Kalimantan Timur pada Jumat (1/11/2024).
Membedah topik Pilkada yang dilangsungkan serentak pada 2024 ini dirasa sangat penting dilakukan.
Sebab pilkada tahun ini bukan hanya memilih calon pemimpin di provinsi saja, tetapi termasuk ada di tiga kota dan tujuh kabupaten secara serentak. Tentunya segala informasi tentang kepemiluan daerah juga menjadi hal yang sangat penting bagi publik yang bukan hanya visi, misi dan program kerja para kontestan calon kepala daerah.
Pada kesempatan ini, NgoPi Pilkada Kaltim membedah tema Pendidikan Hanya Janji Pilkada. Dengan latar belakang bahwa politik sesungguhnya bukan dimiliki kalangan tertentu seperti presiden, anggota MPR-DPR, kepala daerah, ketua dan partai politik, tim sukses atau para pendukung kandidat semata, membicarakan yang berkaitan dengan hal yang berbau politik sering dianggap tabu.
Sehingga muncul istilah politik itu kejam, sadis, bengis dan sebagainya memunculkan sikap-sikap yang apatis dan apolitis. Namun demikian, buta yang terburuk adalah buta politik. Karena individu tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.
"Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik," tulis Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo dalam rilis NgoPi Pilkada.
Lanjut paparnya, mengutip dari penyair Jerman, Bertolt Brecht, kalau si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.
Dalam demokrasi yang sejatinya harusnya ini bukan hanya hubungan siapa yang memilih dan siapa yang dipilih dan setelah proses pemilu dan menjadikan terpilih dan memimpin itu menjadi selesai, tetapi bagaimana yang memilih dan yang terpilih juga mempunyai hak dan kewajiban dan itu saling berkaitan.
Bagaimana pemilih juga harus menjadi kontrol sehingga menjadi pengawas dan evaluasi bagi terpilih selama masa jabatannya yang tentu saja dibuka dan diberikan ruang partisipasi bermakna kepada publik. Ruang Publik harus ada, itu merupakan syarat penting dalam berdemokrasi, tempat berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga.
Selain itu, ruang publik merupakan wadah warga negara dimana dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya, karena ruang publik juga merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyuarakan dan menyatakan opini, kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.
Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi atas kegelisahan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. Ruang publik harus berguna dan dimanfaatkan secara tepat agar semua fungsi yang ada pada ruang publik dapat berjalan dengan baik. Dari setiap paslon gubernur, walikota dan bupati selalu saja mengusung isu-isu pendidikan baik sebagai program unggulannya.
"Sekolah, baju seragam, beasiswa, penunjang lainnya seperti WiFi, komputer, alat praktikum sampai soal sarapan pun digaungkan itu semua muncul pada pemberitaan, spanduk-baleho, pesan berantai dari pendukungnya pun sampai di media sosial," katanya.
"Berikutnya yang belum terjawab oleh para masing-masing paslon itu apakah mereka bisa menjamin untuk melaksanakan amanat konstitusi 20% anggaran pendidikan dari APBN/APBD? Bagaimana dengan wilayah-wilayah perbatasan yang akses tranportasi dan komunikasi saja masih sulit menjangkaunya? Sedangkang listrik dari PLN saja belum masuk," tambahnya.
Kemudian, Buyung mempertanyakan bagaimana hal itu bisa disamaratakan. Terlebih jika dibandingkan dengan daerah yang secara infrastruknya sudah memadai.
"Apakah itu sudah adil? Sekolah gratis tapi masih banyak pungutan liar dengan berbagai alasan yang menyamarkan niat dan prilaku mufakat jahat seperti sumbangan suka rela, kontribusi, pesta perpisahan, study tour, gedung, bangku, buku, praktikum, magang-PKL dan sebagainya. Inilah wajah pendidikan kita sebenarnya. Belum lagi beban para pendidik yang semakin besar dengan tuntutan kurikulum yang berubah-ubah tetapi timbal-baliknya tidak memadai," bebernya.
Selanjutnya, ada persoalan yang juga setiap tahunnya tidak pernah selesai tentang penerimaan peserta didik baru. Dan yang paling menyakitkan lagi ada strata sekolah-sekolah favorit-unggulan. Hal itu terus berulang dari setiap pilkada ke pilkada dan terbukti hasil dari pilkada belum mampu menyelesaikan akar masalah seperti menumpuk masalah yang kapan saja bisa meledak dan menyebabkan permasalahan yang lebih serius di masa akan datang.
"Tujuan-tujuan dari Ngobrol Pilkada Kalimantan Timur #NgoPi-Kaltim ini sesungguhnya sebagai ruang bagi semua orang, siapa pun baik kelompok dan tentunya juga dari penyelenggara dan pemantau pemilu, kontestan, pasangan calon serta tim suksesnya sangat terbuka partisipasinya untuk kegiatan ini. Selama ini ruang-ruang tersebut tidak dimanfaatkan secara baik oleh warganya, walau pun itu ada hany sebatas kampanye sesaat yang tidak menyentuh persoalan mendasar bagi publik terutama di Kalimantan Timur pada hal apa yang disampaikan itu sudah melekat pada kewajiban negara," tandasnya.
(tim redaksi)