POJOKNEGERI.COM - Imbas buruknya kualitas udara di Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui sudah empat minggu batuk-batuk.
Hal itu diungkapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno.
Sandiaga bahkan menyebut Jokowi sudah periksa langsung ke dokter terkait batuk tersebut.
"Presiden sendiri sudah batuk, katanya sudah hampir empat minggu. Beliau belum pernah merasakan seperti ini dan kemungkinan, dokter menyampaikan, ada kontribusi daripada udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk," ucap Sandiaga Uno, dikutip dari CNN Indonesia.
Bukan hanya Jakarta yang digempur polusi udara, kota-kota penyangga ibu kota juga bernasib sama.
Aplikasi Nafas Indonesia selaku penyedia informasi kualitas udara merilis laporan mengenai daftar sejumlah kota dengan kualitas udara terburuk per Juli 2023.
Serpong, Tangerang Selatan menjadi kota dengan udara terburuk, di mana polutan PM2.5 berada di angka 80 mikrogram per meter kubik.
Buruknya kualitas udara di kota ini setara mengisap 112 batang rokok selama sebulan.
Tepat di bawah Serpong ada Tarumajaya, Bekasi yang terpapar PM2.5 sebesar 79 mikrogram per meter kubik alias setara mengisap 112 batang rokok per bulan.
Lalu, ada Parung Panjang, Bogor (99 batang rokok), Babakan, Tangerang Selatan (98 batang rokok), Bedahan, Depok (96 batang rokok), Panunggangan Utara, Tangerang (95 batang rokok), Gunung Sindur, Bogor (95 batang rokok), Cipayung, Jakarta Timur (95 batang rokok), Semanan, Jakarta Barat (92 batang rokok), dan Cibubur, Jakarta Timur (91 batang rokok).
Sederet solusi jangka pendek bermunculan dari pemangku jabatan, baik di tingkat daerah maupun pusat.
Mulai dari work from home, penggunaan kendaraan listrik, melarang kendaraan tidak lulus emisi melintas di Jabodetabek, hingga usul Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memberlakukan sistem 4 in 1.
Budi menyebut skema 3 in 1 bakal ditingkatkan menjadi 4 in 1 di DKI Jakarta, di mana ada 4 orang dalam 1 mobil.
Menurutnya, udara Jakarta bisa lebih bersih jika kepadatan kendaraan berkurang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut buruknya udara Jakarta dan sekitarnya imbas kontribusi debu.
Selain itu, masifnya penggunaan kendaraan pribadi menjadi faktor yang memperburuk.
Sayangnya, kementerian yang dipimpin oleh Siti Nurbaya itu malah membantah jika polusi di Jakarta dan daerah penyokongnya disebabkan oleh kepungan kepungan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro membantah klaim kepungan emisi PLTU berbekal hasil satelit Sentinel-5P yang memuat informasi sebaran tropospheric column density untuk beberapa gas, termasuk nitrogen dioksida (NO2).
Sigit mencontohkan emisi di sekitar PLTU Suralaya, Banten tidak menyebar ke Jakarta.
"Kita juga melakukan studi untuk PLTU, juga untuk menjawab apakah (emisi) PLTU masuk ke Jakarta atau tidak. Sudah terkonfirmasi, bahwa sebagian besar masuk ke Selat Sunda, tidak ke arah Jakarta," tuturnya dalam Media Briefing: Kualitas Udara di Wilayah Jabodetabek, dikutip dari YouTube KLHK, Minggu (13/8).
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satryo Nugroho membantah klaim KLHK.
Ia menyebut ada 16 PLTU batu bara yang mengepung Jakarta, yakni 10 di Banten dan 6 lainnya di Jawa Barat.
Menurutnya, emisi PLTU turut menyumbang polusi udara di Jabodetabek, khususnya Jakarta.
Ia menduga KLHK menutup-nutupi dampak nyata polusi PLTU terhadap buruknya kualitas udara Ibu Kota.
"Menurut saya, ini akal-akalan KLHK saja untuk mendorong adanya transformasi kendaraan bermotor dari konvensional menuju berbasis listrik. KLHK perlu berani menentukan bahwa industri manufaktur juga, tidak hanya PLTU batu bara, tapi dari industri-industri lain, seperti petrokimia, besi dan baja, sampai semen yang juga jadi kontributor (polusi udara)," katanya.
(redaksi)