POJOKNEGERI.COM - Banyaknya Undang-Undang (UU) yang dilahirkan pemerintah disebut cukup kontroversial, bahkan tidak senafas dengan konstitusi negara.
Hal ini turut disorot dalam diskusi Autocratic Legalism: “Siapa Dalang Di Balik UU Kontroversial?” yang dilakukan secara streaming di YouTube Fakultas Hukum Universitas Mulawarman pada Jumat (12/8/2022).
Dosen STHI Jentera dan Anggota CALS, Bivitri Susanti, pun turut menyoroti terkait Autocratic Legalism itu.
Autocratic Legalism adalah cara pandang yang mengedepankan legalisme (segala sesuatu berlandaskan hukum negara) namun dengan karakter otokratisme.
"Gejala Autocratic Legalism ini adanya serangan yang terencana dan berkesinambungan pada institusi-institusi yang tugasnya justru untuk mengawasi tindakannya," ujarnya.
Ia menyoroti terkait pelemahan masyarakat sipil, dengan sengaja institusi-institusi yang punya kewenangan penguasa itu dilemahkan terlebih dahulu, kemudian orang-orang yang berada di balik itu semua akan meraih kemenangannya.
"Jadi setelah dilemahkan presiden dibuat tidak dibatasi kekuasannya, bisa dipilih lagi," katanya.
Semua dilakukan dalam koridor hukum, melalui pembentukan peraturan perundang undangan dan penegakan hukum, namun karena ada kebutuhan menekankan pada aktor konkrit dan rencana aksi, autocratic legalism lebih mampu menjelaskan fenomena belakangan ini.
Tujuan Autocratic Legalism ini, Bivit menjelaskan hal ini untuk memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik bagi kelompok tertentu.
Dalam konteks sistem politik Indonesia, pengambil keuntungan tidak kekuasaan eksekutif, tetapi juga kekuasaan legislatif. Karena itu pelemahan tidak hanya dilihat dari lemahnya DPR secara institusi, tetapi bagaimana aktor-aktor di lembaga legislatif berkelindan dengan lembaga eksekutif.
"Bukan untuk kekayaan tanah air bangsa, tapi orang yang punya benturan kepentingan dengan banyak sekali bisnis dimana saja yang kita sebut oligarki, jadi penguasa masuk dalam pengambilan keputusan, akhirnya menjadi kasuistik," ungkapnya.
Hari ini sudah ada berbagai undang-undang yang dibentuk sangat cepat disahkannya seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan berbagai kebijakan lainnya yang sudah ada dan akan datang, dibuat setelah ada pelemahan pada pengawasan eksekutif.
"Autocratic Legalism lebih berbahaya daripada otoritarianisme dengan senjata karena situasi dianggap baik-baik saja karena legal, padahal bermasalah secara substansi demokrasi dan negara hukum," katanya.
Dalam diskusi ini, Bivit menyebutkan Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) yang telah disahkan dengan waktu yang sangat singkat, namun masyarakat adat tak diajak bicara oleh pemerintah yang akan memindahkan ibu kota ke Penajam Paser Utara (PPU).
"Perlu dikritik karena hukumnya dipengaruhi untuk kepentingan mereka yang punya uang, warga biasa digusur aja, masyarakat adat tidak dianggap sehingga yang diajak ngomong hanya investor," katanya.
Ia menilai ada fenomena yang memang menggunakan cara pandang legalisme sehingga kalau ada yang salah undang-undang lah yang diganti, sehingga menimbulkan autocratic, oligasriki hanya menggunakan hukum untuk melegitimasi yang mereka inginkan.
Bivit mengajak masyarakat untuk mengetahui modus dan pola autocratic legalism ini untuk mencegah pelemahan berikutnya seperti perbaikan sistem elektoral, reformasi partal politik, membangkitkan kembali KPK seperti awal, penguatan masyarakat sipil.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
(redaksi)