POJOKNEGERI.COM - Pihak berwenang Korea Selatan (Korsel) menangkap Presiden Yoon Suk Yeol buntut penetapan darurat militer beberapa waktu lalu. Surat perintah penangkapan Yoon juga sudah terbit.
"Markas besar investigasi gabungan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Yoon Suk Yeol hari ini (15 Januari) pukul 10.33 waktu setempat," ujar penyidik yang menangani kasus Yoon sebagaimana dilaporkan AFP, Rabu (15/1/2025).
Penangkapan terjadi setelah ratusan penyidik dari lembaga korupsi Korsel, CIO, berserta polisi menggerebek kediamannya sejak dini hari.
Peristiwa ini menandai pertama kalinya kepala negara Korsel yang masih menjabat, meski jabatannya ditangguhkan, ditangkap otoritas hukum.
Iring-iringan kendaraan yang membawa Yoon tampak berangkat dari kompleks kepresidenan di Seoul tengah ke kantor CIO di Gwacheon di selatan Seoul.
Yoon kemudian terlihat keluar dari mobil dan memasuki kantor CIO untuk diperiksa.
Pemberitaan sebelumnya Parlemen Majelis Nasional Korea Selatan menyetujui pemakzulan terhadap Presiden Yoon Suk Yeol dalam sidang Sabtu (14/12/2024) atas penetapan darurat militer.
Sebanyak 204 anggota parlemen mendukung pemakzulan Yoon, melawan 85 yang menolak. Selain itu delapan suara tak sah dan tiga lainnya tak hadir dalam sidang.
Sidang yang mengagendakan pemungutan suara untuk memakzulkan Yoon bisa digelar karena memenuhi kuorum, yakni setidaknya 200 dari total 300 anggota Majelis Nasional.
Akibat dari penetapan darurat militer ini, Yoon Suk Yeol terancam hukuman mati.
Dalam konferensi pers yang dihelat pada Minggu (8/12/2024) lalu , kepala tim penyelidikan khusus kejaksaan, Park Se Hyun, menyatakan bahwa pihaknya kini memulai penyelidikan setelah banyak pengaduan diajukan terhadap Yoon.
"Prosedur standar adalah mendaftarkan seseorang sebagai tersangka ketika ada pengaduan atau tuduhan yang diajukan," kata Park.
Dari pengaduan tersebut, Park menuturkan timnya akan membuka penyelidikan terhadap sang presiden atas tuduhan pengkhianatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
"Pada dasarnya, kasus ini melibatkan pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan untuk memprovokasi pemberontakan dengan tujuan mengganggu tatanan konstitusi. Tindakan ini memenuhi kriteria pengkhianatan dan penyalahgunaan kekuasaan berdasarkan hukum," ujar Park.
(*)